Rabu, 13 Juli 2016

Spionase Ketahanan Pengarang



Menjadi seorang pegawai, pada saatnya ia akan dihantui rasa jenuh dan ingin menyudahi status kepegawaiannya, namun ada pula yang tetap getol dan tekun bekerja meski badannya telah runduk dengan beban usia (uzur) disandangnya. Tapi anggapan itu tampaknya kurang pas dalam dunia kepengarangan, banyak karya bagus dan monumental lahir dari pengarang muda, dewasa, bahkan tua yang tetap konsisten menggembalakan imajinasinya. Disinilah usia dipertaruhkan untuk sebuah trah “produktivitas”. 


Produktif ialah bersifat mampu menghasilkan sesuatu dalam jumlah besar atau banyak, dan kegiatan penghasil kebaruan yang didapat dari membaca, benda, bekerja, menulis, belajar, dan hal baik lainnya. Sehingga ketika dikorelasikan dengan (pengarang) akan menjadi padanan kata “pengarang produktif”. Pengarang produktif ialah pengrajin karya tulis yang kemampuannya di atas rata-rata, berbeda dari yang biasa, ia mengabdikan hidupnya hanya untuk menulis dan menulis diatas pertarungan dan pertaruhan usia yang jadi musuh terberatnya. Menjadi penulis produktif tidak semudah membalikkan kedua telapak tangan, banyak hal yang harus dibiasakan dan dikorbankan, membiasakan hal yang tak biasa adalah tantangannya, kebiasaan mengarang merupakan hal rutin dilakukan oleh seorang “pengarang produktif” secara rileks dan istiqomah.

Karena fenomena inilah sempat disinggung Jakob Sumardjo dalam satu esainya (Sastra Indonesia Modern, Sastra Pubertas?),ia mengatakan; “sastra modern Indonesia adalah sastra pubertas, banyak sastrawan sangat produktif ketika usia 17-26 tahun, tapi setelah usia 30/40 tahun mereka tambah tidak produktif bahkan berhenti (pensiun) menulis”.

Astaga..!! Ihwal inilah yang sedari menjangkiti pengarang (sastrawan) kita saat ini, keproduktifannya waktu muda tidak dipertahankan, keperkasaannya waktu muda tidak disisakan, sehingga ketahanan untuk berkarya goyah dan musnah. Saya pun melihatnya ada kesan terburu-buru dalam diri mereka—untuk sekedar legitimasi “sastrawan” dengan bumbu popularitas di atasnya, sehingga kebiasaan mereka yang instan melahirkan pula karya-karya instan yang lekas basi dikonsumsi.

Tetapi marilah kita lihat dan bandingkan dengan hasil karya pendahulu kita; angkatan Balai Pustaka misalnya, pada angkatan emas ini banyak roman-roman tebal yang penulisnya rata-rata telah berusia diatas 30 tahun, begitu pula dengan karya sastranya yang mencapai puncak kejayaan setelah menginjak usia matang, Siti Nurbaya ditulis oleh Marah Rusli yang waktu itu berusia kurang lebih 30 tahun, Abdul Muiz menulis Salah Asuhan pada usia 38 tahun, sedangkan Nur Sutan Iskandar menulis Katak Hendak Jadi Lembu pada usia 42 tahun.

Begitu pula angkatan berikutnya, Atheis yang menggemparkan kesusastraan kita pada masanya, tidak mungkin ditulis oleh orang yang masih remaja. Dan memang iya—Achdiat pengarangnya—waktu itu berusia kurang lebih 37 tahun. Belenggu Armijn Pane yang diilhami oleh teori psikoanalisis milik Sigmund Frued itu ditulis waktu ia berusia 32 tahun, dan Layar Terkembang Sutan Takdir Alisjahbana juga ditulis pada waktu usinya 37 tahun. Rata-rata pengarang tersebut dilahirkan sebelum tahun1910, ketika bangsa kita berada di titik nadir oleh kolonialisme yang mendesak dan mengancam, tapi bukan aral untuk sebuah karya, karya-karya fenomenalpun lahir sempurna manakala penciptanya berusia matang. Dari dan untuk kita generasi mereka, alangkah sempurna menapaktilasi, mengkaji, dan meneladani perjuangan lewat karya mereka.

            Harus digarisbawahi ialah ketahanan pengarang dalam mengarang, ketahanan pengarang dengan jubel produktivitas. Fenomena pengarang diwaktu muda produktif tapi pasif diwaktu tua adalah bukan suatu bentuk marginalisasi, atau penyudutan kemampuan pengarang terdahulu atas pengarang masa kini, tapi lebih pada semacam alarm (tanda bahaya) bagi kita untuk lebih bersabar, hati-hati, dan menjaga keseimbangan berkarya dengan bertebarnya ide di kepala, serta untuk penganggaran waktu menulis yang sekarang kita rasakan begitu langka.

Pada muka-muka sastrawan modern dari angkatan 45 Chairil Anwar, angkatan 60 Taufiq Ismail, angkatan 80 Sutardji Colzum Bahri, dan angkatan baru Andrea Hirata ini, menyimpan sekelumit tanya, apakah mereka masih mampu bertahan untuk sebuah karya? Atau malah sudah pensiun nyastra?. Jawabanya “ada” tapi menjadi menoritas dari mayoritas yang telah “tumbang pensiun”.

Sebagian mereka masih hidup di tengah-tengah kita dalam usia yang tak muda lagi, memang kegitan mereka tidak mati tapi ciptaan-ciptaan mereka kurang deras mengalir seperti waktu mudanya. Dan kita berdoa saja mudah-mudahan tidak ada “karya dan pengarangnya sama-sama mati”. Karena kata penyair dan Kyai Kuswaidi Syafi’ie “banyak karya sastra mati mendahului pengarangnya, yang jelas-jelas masih hidup”.

Pengarang--tahan banting--tak hanya beredar pada skop nasional dan regional saja, banyak pengarang mancanegara yang bisa kita teladani. Misalkan pengarang berkebangsaan Inggris (Alferd Tennyson) yang menulis sejak usia 21 tahun, dan tetap eksis menulis pada ujung usianya yang ke 82 tahun, atau seorang penulis naskah drama Von Schiller yang menulis sejak usia 22 tahun sampai  dekat ajalnya dalam usia 46 tahun.

Kemudian kita tulisi tanda tanya besar di jidat dan kepala kita, apakah jiwa heroik seorang Tennyson bersemayam pula di dalam diri Sutardji Calzum Bahri? Apakah tangan keriput Taufiq Ismail lebih serius menulis dan bersetia seperti Hemingway yang terbatuk-batuk di depan mesin ketiknya (dalam usia 70 tahun). Maka Dari Sapardi Djoko Damono sampai ke Raudal Tanjung Banua kita tunggu jawabannya.







Share:

0 komentar:

Copyright © LAJANG KEMBARA | Powered by Blogger
Design by SimpleWpThemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com