Menjadi seorang pegawai, pada saatnya ia akan dihantui rasa
jenuh dan ingin menyudahi status kepegawaiannya, namun ada pula yang tetap
getol dan tekun bekerja meski badannya telah runduk dengan beban usia (uzur)
disandangnya. Tapi anggapan itu tampaknya kurang pas dalam dunia kepengarangan,
banyak karya bagus dan monumental lahir dari pengarang muda, dewasa, bahkan tua
yang tetap konsisten menggembalakan imajinasinya. Disinilah usia dipertaruhkan
untuk sebuah trah “produktivitas”.
Produktif ialah bersifat mampu menghasilkan sesuatu dalam
jumlah besar atau banyak, dan kegiatan penghasil kebaruan yang didapat dari
membaca, benda, bekerja, menulis, belajar, dan hal baik lainnya. Sehingga
ketika dikorelasikan dengan (pengarang) akan menjadi padanan kata “pengarang
produktif”. Pengarang produktif ialah pengrajin karya tulis yang kemampuannya
di atas rata-rata, berbeda dari yang biasa, ia mengabdikan hidupnya hanya untuk
menulis dan menulis diatas pertarungan dan pertaruhan usia yang jadi musuh
terberatnya. Menjadi penulis produktif tidak semudah membalikkan kedua telapak
tangan, banyak hal yang harus dibiasakan dan dikorbankan, membiasakan hal yang
tak biasa adalah tantangannya, kebiasaan mengarang merupakan hal rutin
dilakukan oleh seorang “pengarang produktif” secara rileks dan istiqomah.
Karena fenomena inilah sempat disinggung Jakob Sumardjo
dalam satu esainya (Sastra Indonesia Modern, Sastra Pubertas?),ia
mengatakan; “sastra modern Indonesia adalah sastra pubertas, banyak sastrawan
sangat produktif ketika usia 17-26 tahun, tapi setelah usia 30/40 tahun mereka
tambah tidak produktif bahkan berhenti (pensiun) menulis”.
Astaga..!! Ihwal inilah yang sedari
menjangkiti pengarang (sastrawan) kita saat ini, keproduktifannya waktu muda
tidak dipertahankan, keperkasaannya waktu muda tidak disisakan, sehingga
ketahanan untuk berkarya goyah dan musnah. Saya pun melihatnya ada kesan
terburu-buru dalam diri mereka—untuk sekedar legitimasi “sastrawan” dengan
bumbu popularitas di atasnya, sehingga kebiasaan mereka yang instan melahirkan
pula karya-karya instan yang lekas basi dikonsumsi.
Tetapi marilah kita lihat dan bandingkan dengan hasil karya
pendahulu kita; angkatan Balai Pustaka misalnya, pada angkatan emas ini banyak
roman-roman tebal yang penulisnya rata-rata telah berusia diatas 30 tahun,
begitu pula dengan karya sastranya yang mencapai puncak kejayaan setelah
menginjak usia matang, Siti Nurbaya ditulis oleh Marah Rusli yang waktu
itu berusia kurang lebih 30 tahun, Abdul Muiz menulis Salah Asuhan pada
usia 38 tahun, sedangkan Nur Sutan Iskandar menulis Katak Hendak Jadi Lembu pada
usia 42 tahun.
Begitu pula angkatan berikutnya, Atheis yang
menggemparkan kesusastraan kita pada masanya, tidak mungkin ditulis oleh orang
yang masih remaja. Dan memang iya—Achdiat pengarangnya—waktu itu berusia kurang
lebih 37 tahun. Belenggu Armijn Pane yang diilhami oleh teori
psikoanalisis milik Sigmund Frued itu ditulis waktu ia berusia 32 tahun, dan Layar
Terkembang Sutan Takdir Alisjahbana juga ditulis pada waktu usinya 37
tahun. Rata-rata pengarang tersebut dilahirkan sebelum tahun1910, ketika bangsa
kita berada di titik nadir oleh kolonialisme yang mendesak dan mengancam, tapi
bukan aral untuk sebuah karya, karya-karya fenomenalpun lahir sempurna manakala
penciptanya berusia matang. Dari dan untuk kita generasi mereka, alangkah
sempurna menapaktilasi, mengkaji, dan meneladani perjuangan lewat karya mereka.
Harus digarisbawahi ialah ketahanan
pengarang dalam mengarang, ketahanan pengarang dengan jubel produktivitas.
Fenomena pengarang diwaktu muda produktif tapi pasif diwaktu tua adalah bukan
suatu bentuk marginalisasi, atau penyudutan kemampuan pengarang terdahulu atas
pengarang masa kini, tapi lebih pada semacam alarm (tanda bahaya) bagi
kita untuk lebih bersabar, hati-hati, dan menjaga keseimbangan berkarya dengan
bertebarnya ide di kepala, serta untuk penganggaran waktu menulis yang sekarang
kita rasakan begitu langka.
Pada muka-muka sastrawan modern dari angkatan 45 Chairil
Anwar, angkatan 60 Taufiq Ismail, angkatan 80 Sutardji Colzum Bahri, dan
angkatan baru Andrea Hirata ini, menyimpan sekelumit tanya, apakah mereka masih
mampu bertahan untuk sebuah karya? Atau malah sudah pensiun nyastra?. Jawabanya
“ada” tapi menjadi menoritas dari mayoritas yang telah “tumbang pensiun”.
Sebagian mereka masih hidup di tengah-tengah kita dalam usia
yang tak muda lagi, memang kegitan mereka tidak mati tapi ciptaan-ciptaan
mereka kurang deras mengalir seperti waktu mudanya. Dan kita berdoa saja
mudah-mudahan tidak ada “karya dan pengarangnya sama-sama mati”. Karena kata
penyair dan Kyai Kuswaidi Syafi’ie “banyak karya sastra mati mendahului
pengarangnya, yang jelas-jelas masih hidup”.
Pengarang--tahan banting--tak hanya beredar pada skop
nasional dan regional saja, banyak pengarang mancanegara yang bisa kita
teladani. Misalkan pengarang berkebangsaan Inggris (Alferd Tennyson) yang
menulis sejak usia 21 tahun, dan tetap eksis menulis pada ujung usianya yang ke
82 tahun, atau seorang penulis naskah drama Von Schiller yang menulis sejak
usia 22 tahun sampai dekat ajalnya dalam
usia 46 tahun.
Kemudian kita tulisi tanda tanya besar di jidat dan kepala
kita, apakah jiwa heroik seorang Tennyson bersemayam pula di dalam diri
Sutardji Calzum Bahri? Apakah tangan keriput Taufiq Ismail lebih serius menulis
dan bersetia seperti Hemingway yang terbatuk-batuk di depan mesin ketiknya
(dalam usia 70 tahun). Maka Dari Sapardi Djoko Damono sampai ke Raudal Tanjung
Banua kita tunggu jawabannya.
0 komentar:
Posting Komentar