Judul : Berguru pada Sulthanul Auliya’
Syekh Abdul Qadir Jailani
Penulis : Samsul Ma’arif
Penerbit : Araska
Cetakan : 1, April 2016
Tebal : 14x20.5 cm, 220 Halaman
ISBN : 978-602-300-246-7
Peresensi : Khairul Mufid Jr*
Kemasyhuran
Syekh Abdul Qadir al-Jailani di kalangan umat Islam Indonesia, bahkan dunia
sudah tidak diragukan lagi. Orang Islam mengenal beliau sebagai “Pemimpin Para
Wali.” Di dunia barat dikenal sebagai Syaikhul Islam dan Filsuf Islam.
Bahkan seorang penulis muslim Jerman, Mehmed Ali Aini (1967) menyebut
al-Jailani sebagai “Orang Suci Terbesar Dunia.”
Banyak
perbedaan yang menyebutkan tentang tahun kelahiran Syekh Abdul Qadir
al-Jailani. Berdasarkan sumber yang banyak menyebutkan bahwa beliau lahir pada
470 H (1077 M) seperti dalam Mawa’idz karya Syekh Shalih Ahmad as-Syami.
Ada pula yang mengatakan beliau lahir pada tahun 480 H (1078 M) dan wafat tahun
561 H (1166 M) di Baghdad.
Beliau lahir di
Gilan atau Jilan, Irak. Ada juga yang mengatakan Gilan itu terletak Persia
(Iran sekarang). Nama beliau seperti disebutkan dalam Manaqib adalah Abu
Muhammad Abdul Qadir bin Musa “Janki Daust” al-Jilani.
Syekh Abdul
Qadir al-Jailani termasuk sayyid, keturunan Nabi Muhammad SAW, atau di
Indonesia sering disebut habib. Marga beliau al-Hasani (nasab jalur
ayah) wal-Husaini (nasab jalur ibu). Ayahnya adalah Abu Shalih Musa “Janki
Daust.” Bahkan kalau diteruskan melalui Ali ibn Abi Thalib karramallahu
wajhah, nasab beliau bersambung sampai Nabi Ibrahim ‘alaihi salam.
Corak pemikiran
dan pemahaman keagamaan Syekh Abdul Qadir al-Jailani adalah sunni yang
merepresentasikan kemoderatan ulama salafi. Dari sisi akidah, beliau lebih
dekat dengan corak al-Maturidi dan al-Asy’ari. Di bidang fikih, ia lebih
condong ke Syafi’iyah. Namanya termasuk dalam jajaran ulama terkemuka dan
terpandang yang menjadi narasumber Syafi’iyah, sebagaimana disebut dalam
beberapa kitab thabaqat (kumpulan biografi) mazhab Syafi’i. (hal. 33)
Syekh Abdul
Qadir al-Jailani banyak mewariskan karya-karya literatur, Dan peneliti asal
Jerman Brockelman menyatakan terdapat 52 kitab karangan beliau. Diantaranya:
Tafsir al-Jilani, Musnad al-Hadis, Fikih Syekh Abdul Qadir al-Jailani (20
jilid), al-Fathu al-Rabbani wa al-Faidhu al-Rahmani, Futuhal Ghaib, Sirr
al-Asrar, Asror al-Asrar, al-Gunyah li-Thalibi al-Haqa’azza wa Jalla.
Beliau juga
dikenal sebagai Sulthanul Auliya’ atau pemimpin Para Wali. Selain
sebutan itu Syekh Ibnu ‘Arabi memberinya gelar Ghauts al A’dham. Menurut
Martin Van Bruinessen, dalam literature kesufian, gelar tersebut berarti
kedudukan tertinggi dalam tingkat kewalian. “Para Wali adalah (friends of
god) mereka yang mencintai dan dicintai oleh Allah, bukan santo orang-orang
suci dalam pengertian Kristen.” (hal.80)
Buku gubunhan Samsul
Ma’arif ini juga menuliskan tentang kepribadian Syekh Abdul Qadir Jailani.
Disebutkan bahwa beliau mempunyai akhlak dan sangat takwa kepada Allah SWT,
hatinya luluh, air matanya bercucuran, doa permohonannya diterima Allah. Beliau
juga seorang dermawan berjiwa sosial, jauh dari perilaku buruk dan selalu dekat
dengan kebaikan. Berani dan kokoh dalam mempertahankan kebenaran (haq),
selalu gigih dan tegar dalam menghadapi kemungkaran. Beliau pantang sekali
menolak orang yang meminta-minta, walau yang diminta pakaian yang sedang beliau
pakai, sifat dan watak beliau tidak marah karena hawa nafsu, tidak memberi
pertolongan kalau bukan karena Allah SWT.
Beliau diwarisi
akhlak Nabi Muhammad, ketampanan wajahnya setampan Nabi Yusuf alaihi salam.
Benarnya (shiddiqnya) dalam segala hal sama dengan benarnya Sayidina Abu
Bakar radhiyallahu ‘anhu. Adilnya, sama dengan keadilan Sayidina Umar
bin Khottob radhiyallahu ‘anhu. Hilmi-nya dan kesabarannya adalah
hilmi-nya Sayidina Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Kegagahan dan
keberaniannya, berwatak keberanian Sayidina Ali bin Abi Thalib karamallahu
wajhah. (hal. 125)
Syekh Junaid
al-Baghdadi, yang hidup 200 tahun sebelum kelahiran Syekh Abdul Qadir Jailani.
Namun, pada saat itu ia telah meramalkan akan kedatangan Syekh Abdul Qadir
Jailani. Suatu ketika Syekh Junaid al-Baghdadi sedang bertafakkur, tiba-tiba
dalam keadaan antara sadar dan tidak, ia berkata; “kakinya ada di atas
pundakku! kakinya ada di atas pundakku!” Setelah itu ia tenang kembali,
murid-muridnya menanyakan apa maksud ucapan beliau itu. Kata Syekh Junaid
al-Baghdadi, “aku dibertahukan bahwa kelak akan lahir seorang wali besar,
namanya Syekh Abdul Qadir yang bergelar Muhyidin.” Pada saatnya kelak, atas
kehendak Allah SWT, ia akan mengatakan “kakiku ada di atas pundak para wali.”
Masih banyak
hal yang bisa ditimba pelajaran dari Sulthanul Auliya’ Syekh Abdul Qadir
Jailani, baik dari Tarekat Qadiriyyah beliau, Tradisi Manaqiban, konsep
Tasawuf, Karomah dan Istidraj, pentingnya keteladanan, tentang melawan setan,
nafsu dan iblis, kepemimpinan, mencari rezeki, sifat pemurah, Qona’ah, sikap
Zuhud, puasa, ujian senang, menjauhi maksiat, makhluk, bersyukur, sabar bukan
kelemahan, cara mengenal Tuhan, kesempurnaan manusia, rendah hati, petaka dan
bencana, etika dalam masjid, berlomba menuju kebaikan, dan masih banyak lainnya
yang tak mungkin dijabarkan semua di sini.
Keunikan buku
ini juga memuat beberapa zikir Syekh Abdul Qadir Jailani sesudah shalat di
halaman-halaman terakhir, zikir harian beliau selama seminggu, dilengkapi
dengan beberapa ajaran-ajaran beliau yang bisa aplikasikan dalam keseharian
kita. Akhiran, selamat membaca.
0 komentar:
Posting Komentar