Saban malam,
pohon beringin itu melambai disentuh angin, seolah mengabarkan kedatangan arwah
di area pemakaman, ketika rembulan baru mengecup kening bumi, ia menyebarkan
cahaya pada kesendirian keranda dan berpasang batu nisan. Ada ritus kejiwaan di
tanah seluas satu hektar itu, ritus minta perlindungan dan keselamatan, sepenggal kepala banteng, dupa, dan kembang
tujuh rupa menjadi sesembahan, masyarakat bersepakat dengan arwah-arwah tempat
pembaringan terakhir manusia, di tanah guntai yang keberadaannya di jantung
desa adalah tempat lalu lalang masyarakat setempat.
Pemakaman
Roro Angger memang sulit mendapat tempat di hati masyarakat, namun siapa yang
tidak mengenalnya, karena area pemakaman itu satu-satunya di desa Polagan dan menjadi
pemakaman umum sejak nenek moyang dahulu, pohonnya yang bercabang, tanahnya yang
bergelombang, dan sengit bau kemenyan riuh rendah menambah mistis Roro Angger. nama
seram yang ia kenakan dan sering menjadi buah bibir berpuluh-puluh tahun
lamanya.
Roro Angger
menjadi denyut kemistikan desa Polagan, desa yang sejak dahulu mengeram
kegaiban-kegaiban, tak ada yang
menjangkau muasal mengapa Roro Angger disakralkan, ditakuti, dan disucikan?. Masyarakat
sangat merahasiakan, dan mendapat malapetaka jika sekali-kali menyinggungnya, Tapi
dari sekian runut kemistikan Roro Angger ada seorang yang mafhum dan mengetahui
muasal mengapa pemakaman itu disakralkan? Ia seorang juru jaga sekaligus
pewaris kunci sejarah pemakaman Roro Angger, ia mengetahui segalanya tentang
Roro Angger.
***
Kabut
berkelindan begitu liar dari biasanya, mengaburkan pandangan orang-orang yang
tengah berjalan menjajah fajar, mereka tengah berjalan menuju ladang untuk
pakan ternak atau pun mencari umbi-umbian. Pagi itu Bagus dan Raka lari-lari
anjing menelanjangi jalanan, mereka tengah mengejar seseorang, dan dua detik
sekali meletup patah kata dari mulutnya, Mbah Sumo..!! Mbah Sumo..!! tunggu
sebentar Mbah, kami mau tanya dan ngobrol banyak tentang sejarah angkernya
pemakaman Roro Angger?. Tapi bukan jawaban yang mereka dapati melainkan
penghinaan karena Mbah Sumo hanya membalikkan badan dan melanjutkan kembali
perjalanan, tak sepatah kata pun mengalun dari mulutnya. nasib mereka juga sama
dari ribuan orang yang ingin menelanjangi sejarah Roro Angger, pendahulu mereka
banyak gugur dalam keinginan dan tidak pernah
mendapat jawaban.
Mbah Sumo
selaku juru jaga Roro Angger hidupnya memang semistik pekerjaannya, ia jarang
bergaul dengan masyarakat, sukanya menyendiri, dan hanya menyapu pemakaman atau
mencabuti rerumputan pemakaman. Ia tak punya kehidupan lain selain menghabiskan
usianya untuk merawat pemakaman Roro Angger. tapi dari keegoisan hidupnya itu siapa
sangka Mbah Sumo adalah satu-satunya orang paling kaya di desa Polagan, tak ada
yang tahu dari mana ia mendapatkan kekayaan. Tapi masyarakat untuk
mencurigainya saja merasa takut, apalagi mengusutnya.
***
Hingga pada suatu
malam purnama, di tengah hembusan kejam angin, Bagus dan Raka memasang siasat
untuk menyambangi area pemakaman Roro Angger, mereka ingin menyelidiki lokasi penjelmaan
arwah itu, dengan berbekal keberanian dan luasnya keingin-tahuan, mereka tiba
di area pemakaman, awalnya mereka menaruh jemu karena saking lamanya tak ada
riak keanehan, hingga pada akhirnya ada seorang wanita tua berjalan menembus
kegelapan, dan dengan tenangnya memasuki mulut pemakaman, ia membawa sesembahan berupa kepala
banteng, dan seikat uang kertas dengan dupa tiga warna, wanita itu duduk di
makam bujhuk (ratu) Epu, dan
meletakkan sesembahanannya di samping batu nisan warna putih, ia sedikit berdoa
sebelum pergi. Ia melampiaskan keinginannya di hapan makam, hingga dari mimik
mukanya terpatri kepuasan dan kecerian, serasa ia terbebas dari segala jerat
sedu dan susah hati selepas mengutarakan keinginnya. Sedang dari rindang
belukar Bagus dan Raka memoloti fenomina ganjil itu, dan yang tak habis pikir,
ketika sesembahan itu dibiarkan sendiri di pemakaman, tiba-tiba tubuh renta,
dengan belunjur jenggot tebal, dan jalannya yang tersengak-sengak mengambilnya
tanpa segan.
Malam kedua
Bagus dan Raka berharap banyak mendapat kejelasan tentang mistiknya pemakaman
Roro Angger, layaknya kemarin malam mereka menyambangi area pemakaman, di bawah
gerhana bulan dan di tepi kekar pohon beringin mereka mulai memungut keanehan-keanehan,
hingga dari kejauhan tampak seorang
pasangan suami istri tersendat-sendat gemetar, mereka layaknya manusia di
tengah guyuran salju yang sangat dingin, tapi gigilnya karena ketakutan,
menoleh ke kanan ke kiri, seraya menyimak tegapnya pohon beringin yang akarnya
menjuntai ke tanah. Mereka akhirnya sampai ke area pemakaman, dan langsung
menuju makam bujhuk (ratu) Epu, dan
meletakkan sesembahan di sekitar batu nisan, dan mengalunkan permintaan. Mereka kebetulan meminta keturunan, selama
lima tahun silam belum mendapat anak, perminataan itu sempat di dengar Bagus
dan Raka yang tak begitu jauh dari lokasi. Selepas kepergian pasangan itu
tiba-tiba muncul tua renta itu lagi dengan mengenakan jubah hitam dengan badan
yang bungkuk mengambil sesembahan itu.
Bagus, jangan..!
Kelakar Raka pelan, bagus begitu emosi dengan kelakuan orang tua itu, ia ingin
melabraknya, bahkan ingin menyabet dengan belati yang baru saja ia cabut dari
gulungan sarung, “aku ingin membunuh dedemit itu” Bagus terus berdebat dan
memaksa Raka melepas pegangannya. Kita telah dibodohi, selama berpuluh tahun
kita telah di tipu oleh Mbah Sumo, ia merekayasa semua kemistikan Roro Angger,
ia juga yang menakut-nakuti masyarakat, kurang ajar…!! Maka dengan amarah yang
memuncak dan ketakberdayaan Raka melerai. Bagus langsung menyerang dengan bogem
di wajah, tendangan di tubuh dan akhirnya ia sabetkan belati di itu ke kepala Mbah
Sumo, hingga terputus dari badannya. Ia mengindahkan rasa kemanusian yang telah
terkubur dari amarah dan dendam. Si tua
itu terkapar dan tersungkur dengan bersimbah darah.
Kutub,
Maret 2014.
0 komentar:
Posting Komentar