Rabu, 20 Juli 2016

Roro Angger



Saban malam, pohon beringin itu melambai disentuh angin, seolah mengabarkan kedatangan arwah di area pemakaman, ketika rembulan baru mengecup kening bumi, ia menyebarkan cahaya pada kesendirian keranda dan berpasang batu nisan. Ada ritus kejiwaan di tanah seluas satu hektar itu, ritus minta perlindungan dan keselamatan,  sepenggal kepala banteng, dupa, dan kembang tujuh rupa menjadi sesembahan, masyarakat bersepakat dengan arwah-arwah tempat pembaringan terakhir manusia, di tanah guntai yang keberadaannya di jantung desa adalah tempat lalu lalang masyarakat setempat.

Pemakaman Roro Angger memang sulit mendapat tempat di hati masyarakat, namun siapa yang tidak mengenalnya, karena area pemakaman itu satu-satunya di desa Polagan dan menjadi pemakaman umum sejak nenek moyang dahulu, pohonnya yang bercabang, tanahnya yang bergelombang, dan sengit bau kemenyan riuh rendah menambah mistis Roro Angger. nama seram yang ia kenakan dan sering menjadi buah bibir berpuluh-puluh tahun lamanya.

Roro Angger menjadi denyut kemistikan desa Polagan, desa yang sejak dahulu mengeram kegaiban-kegaiban,  tak ada yang menjangkau muasal mengapa Roro Angger disakralkan, ditakuti, dan disucikan?. Masyarakat sangat merahasiakan, dan mendapat malapetaka jika sekali-kali menyinggungnya, Tapi dari sekian runut kemistikan Roro Angger ada seorang yang mafhum dan mengetahui muasal mengapa pemakaman itu disakralkan? Ia seorang juru jaga sekaligus pewaris kunci sejarah pemakaman Roro Angger, ia mengetahui segalanya tentang Roro Angger.

***

Kabut berkelindan begitu liar dari biasanya, mengaburkan pandangan orang-orang yang tengah berjalan menjajah fajar, mereka tengah berjalan menuju ladang untuk pakan ternak atau pun mencari umbi-umbian. Pagi itu Bagus dan Raka lari-lari anjing menelanjangi jalanan, mereka tengah mengejar seseorang, dan dua detik sekali meletup patah kata dari mulutnya, Mbah Sumo..!! Mbah Sumo..!! tunggu sebentar Mbah, kami mau tanya dan ngobrol banyak tentang sejarah angkernya pemakaman Roro Angger?. Tapi bukan jawaban yang mereka dapati melainkan penghinaan karena Mbah Sumo hanya membalikkan badan dan melanjutkan kembali perjalanan, tak sepatah kata pun mengalun dari mulutnya. nasib mereka juga sama dari ribuan orang yang ingin menelanjangi sejarah Roro Angger, pendahulu mereka banyak gugur dalam  keinginan dan tidak pernah mendapat jawaban.

Mbah Sumo selaku juru jaga Roro Angger hidupnya memang semistik pekerjaannya, ia jarang bergaul dengan masyarakat, sukanya menyendiri, dan hanya menyapu pemakaman atau mencabuti rerumputan pemakaman. Ia tak punya kehidupan lain selain menghabiskan usianya untuk merawat pemakaman Roro Angger. tapi dari keegoisan hidupnya itu siapa sangka Mbah Sumo adalah satu-satunya orang paling kaya di desa Polagan, tak ada yang tahu dari mana ia mendapatkan kekayaan. Tapi masyarakat untuk mencurigainya saja merasa takut, apalagi mengusutnya.

***

Hingga pada suatu malam purnama, di tengah hembusan kejam angin, Bagus dan Raka memasang siasat untuk menyambangi area pemakaman Roro Angger, mereka ingin menyelidiki lokasi penjelmaan arwah itu, dengan berbekal keberanian dan luasnya keingin-tahuan, mereka tiba di area pemakaman, awalnya mereka menaruh jemu karena saking lamanya tak ada riak keanehan, hingga pada akhirnya ada seorang wanita tua berjalan menembus kegelapan, dan dengan tenangnya memasuki mulut  pemakaman, ia membawa sesembahan berupa kepala banteng, dan seikat uang kertas dengan dupa tiga warna, wanita itu duduk di makam bujhuk (ratu) Epu, dan meletakkan sesembahanannya di samping batu nisan warna putih, ia sedikit berdoa sebelum pergi. Ia melampiaskan keinginannya di hapan makam, hingga dari mimik mukanya terpatri kepuasan dan kecerian, serasa ia terbebas dari segala jerat sedu dan susah hati selepas mengutarakan keinginnya. Sedang dari rindang belukar Bagus dan Raka memoloti fenomina ganjil itu, dan yang tak habis pikir, ketika sesembahan itu dibiarkan sendiri di pemakaman, tiba-tiba tubuh renta, dengan belunjur jenggot tebal, dan jalannya yang tersengak-sengak mengambilnya tanpa segan.

Malam kedua Bagus dan Raka berharap banyak mendapat kejelasan tentang mistiknya pemakaman Roro Angger, layaknya kemarin malam mereka menyambangi area pemakaman, di bawah gerhana bulan dan di tepi kekar pohon beringin mereka mulai memungut keanehan-keanehan, hingga dari  kejauhan tampak seorang pasangan suami istri tersendat-sendat gemetar, mereka layaknya manusia di tengah guyuran salju yang sangat dingin, tapi gigilnya karena ketakutan, menoleh ke kanan ke kiri, seraya menyimak tegapnya pohon beringin yang akarnya menjuntai ke tanah. Mereka akhirnya sampai ke area pemakaman, dan langsung menuju makam bujhuk (ratu) Epu, dan meletakkan sesembahan di sekitar batu nisan, dan mengalunkan permintaan.  Mereka kebetulan meminta keturunan, selama lima tahun silam belum mendapat anak, perminataan itu sempat di dengar Bagus dan Raka yang tak begitu jauh dari lokasi. Selepas kepergian pasangan itu tiba-tiba muncul tua renta itu lagi dengan mengenakan jubah hitam dengan badan yang bungkuk mengambil sesembahan itu.

Bagus, jangan..! Kelakar Raka pelan, bagus begitu emosi dengan kelakuan orang tua itu, ia ingin melabraknya, bahkan ingin menyabet dengan belati yang baru saja ia cabut dari gulungan sarung, “aku ingin membunuh dedemit itu” Bagus terus berdebat dan memaksa Raka melepas pegangannya. Kita telah dibodohi, selama berpuluh tahun kita telah di tipu oleh Mbah Sumo, ia merekayasa semua kemistikan Roro Angger, ia juga yang menakut-nakuti masyarakat, kurang ajar…!! Maka dengan amarah yang memuncak dan ketakberdayaan Raka melerai. Bagus langsung menyerang dengan bogem di wajah, tendangan di tubuh dan akhirnya ia sabetkan belati di itu ke kepala Mbah Sumo, hingga terputus dari badannya. Ia mengindahkan rasa kemanusian yang telah terkubur  dari amarah dan dendam. Si tua itu terkapar dan tersungkur dengan bersimbah darah.

Kutub, Maret 2014.
Share:

0 komentar:

Copyright © LAJANG KEMBARA | Powered by Blogger
Design by SimpleWpThemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com