Embun malam pergantian musim menyisakan kesejukan dan
air mata, angin pun mengerudungi sebuah bangsal kayu yang kusebut itu rumah,
walau kebanyakan orang menyebutnya gudang, bedeng, dan sebuah kandang tapi buatku sebuah istana
kerajaan, di bawah atap seng yang berlubang dengan mudahnya kami berempat
melihat kelip bintang dan pancaran bulan, di selimuti anyam bambu yang menganga
begitu mudahnya kami dipeluk angin dan dirembesi hujan, diantara puluhan rumah
yang berdiri kokoh rumah kami yang paling gampang roboh, kami keluarga paling
miskin dan paling sering ketiban bencana. apalagi bencana kelaparan dan
kebutuhan hidup lainnya.
Di
antara bapak dan anak-anakku, akulah yang merangkul semua pekerjaan rumah
sekaligus mencari nafkah. Bagaimanapun aku tak bisa menyangkal, ini adalah
seleksi alam yang mau tidak mau musti aku kerjakan, suamiku sudah tiga tahun
belakangan ini sakit-sakitan, dan sekian lamanya tidak bisa bekerja.
***
Pada suatu pagi yang berkabut dengan bias rintikan hujan lamban, Suryati tergopoh mengantar Dio
anaknya ke sekolah yang tidak
begitu jauh dari rumah, mereka menumpangi sebuah ontel butut yang tak bigitu tangguh untuk
jalanan berbatu. Di tengah jalan bergelombang dan naik turun,
Suryati memberi peringatan pada Dio, Nak!,
Pegang yang erat yaa, Kita
akan melewati jalan curam dan berbatu, iya Buu! jawab Dio datar, Suryati dengan gemetar menenangkan binal ontelnya akibat cegatan bebatuan, tiba-tiba kawat remnya putus,
dan menabrak pembatas jalan kemudian mereka
terjungkal ke samping gardu,
ontelnya terbelah dua, Suryati luka-luka
di tangan dan kaki, sedang
Dio terpental jauh ke tubuh aspal dan bebatuan tajam. Suryati terdiam cemas, dan seketika
itu meneteskan air mata, ia tak sanggup lagi menerima kenyataan, anak bungsunya sudah tak berdaya terkapar dengan lumuran
darah.
“Dio.., Dio..,
Dio!! Bangun Nak,! ibu di sini, ayo bangun anakku”, Panggilnya kentara, menangis,
sambil mendorongi tubuh layu Dio, tak ada gerak dan jawaban darinya, hanya gelembung
darah yang terus menyumber dari sebagian tubuh Dio, Suryati semakin kencang mendorongi tubuh dan
semakin keras berteriak seraya menambah tanya pada orang-orang yang mulai
mengeremuni mereka berdua. “Nyawa Dio
sudah tak tertolong lagi biarkan dia tenang di alam sana, anakmu tidak akan
bisa kembali lagi, ikhlaskan saja” sahut seorang lelaki yang sejenak mencairkan
suasana mencekam itu. “Tidak..! Tidak..!” bentak Suryati tetap tak bisa tenang.
Bagai badai yang tiba-tiba
menggulung, dan sapuan ombak mengibas, atau
luapan banjir mengarak kemudian berdesakan menghimpit Suryati. Seminggu dari kematian anak bungsunya itu, suryati lebih pendiam dari biasanya, ia masih tidak bisa menerima kenyataan atas musibah yang menimpa keluarganya.
***
Pagi yang
masih buta, jarum jam menunjuk angka 06:00. Suryati
bersiap berangkat kerja, tak ada ritual khusus sebelumnya, cukup hanya dengan bedak pemutih wajah dan
tawas penghilang bau badan, ia sudah merasa cukup modis untuk pergi ke tempat
kerja. Walau musibah
keluarganya tak bisa ia hapus dalam ingatan. Ia tak ingin berlarut dalam
kesedihan dan ia tak punya banyak pilihan lagi untuk memoles hidupnya ke arah mapan,
ia mencoba bersabar dalam
penderitaan.
Sesampainya
di tempat kerja,
tiba-tiba handphone bergetar di sak belakang celananya, isyarat seorang
menelponnya;
“Assalamu’alaikum? Tanya penelpon mengawali pembicaraan”
“Waalaikum
salam! Jawab Suryati” Ada yang bisa saya bantu pak? Ujar Suryati,
yang ternyata lawan bicarnya seorang lelaki”.
“Begini Suryati, bapak ingin
menyampaikan berita duka, tentang suamimu.”
“Ada apa dengan suamiku pak?
Jawabnya selidik.
“Anuu..
anu.. suamimu telah meningggal dunia Sur!, ia telah tidak bernyawa lagi ketika
Anton anakmu melihat
bapaknya terlentang pucat di atas
ranjang kamarnya, imbuh penelpon dengan nada haru dan gemetar itu.
Suryati terdiam dan tidak bisa berkata apa-apa, ia tertunduk layu
dan tak mampu menjawab salam dari
penelpon, derita baru yang tak kalah buas, ganas, dan bengis. Ia semakin melemah dan akhirnya pingsan seketika.
Betapa terkejut kala ia terbangun
dan rasakan tekanan batin perih
menusuk jiwa, suaminya sudah dimakamkan,
dan ditempatkan di samping kuburan Dio. Kini Suryati hanya memiliki Anton anak
kandung sulungnya, ia adalah harta satu-satunya yang Suryati punyai.
***
Suryati akhir-akhir ini sudah
mengurangi pekerjaan beratnya, ia sering tidur, melamun, dan tak ada
sedikitpun senyum tergores dipipinya lagi. Kematian suami dan anaknya sudah
menjadi cambuk mematikan. Kini, Anton yang mengambil alih semuanya, ia memasak,
mencuci, hingga mengganti pekerjaan ibunya sebagai kuli panggul, Anton telah putus kuliah setelah musibah kematian keluarganya. Tetapi ia tegar dan berjuang untuk kehidupannya dan Suryati.
Anton yang kini dikenal sebagai
tukang kuli muda, memang tidak pernah absen masuk kerja, sehingga teman dan mandornya sering menyanjung. Ia diberi kepercayaan lebih dari karyawan lain, sehingga pada suatu waktu, ketika ia
bermain ke rumah sang mandor, tiba-tiba ia bertemu seorang gadis cantik, tinggi, dan langsing, akrablah
mereka saling mengenal satu sama lain. Pak mandor juga memberi lampu hijau
terhadap pertemanan Anton dan putrinya itu. Gadis yang di ketahui putri mandornya diam-diam ditaksir Anton, walau keterbatasan ekonomi
yang melatari, Anton memberanikan diri untuk melamar sang gadis, tanpa sepengatahuan
Suryati. Anton takut tidak
mendapat restu dan memberatkan hati ibunya, apalagi si calon istri adalah
seorang putri saudagar kaya raya. Maka dengan tanpa restu ibunya, pernikahan
tetap digelar.
***
Semenjak resmi menjadi suami gadis
itu, Anton sudah jarang pulang ke rumah untuk menjenguk Suryati, padahal sang Ibu
semakin kerempeng, kering bangsai, bahkan mulai hilang ingatan, Jika sebelumnya Anton seminggu sekali pulang, ternyata kini berminggu-minggu tidak pulang. Ia telah
melupakan sang Ibu yang
tinggal menunggu kematiannya.
Suryati saat ini memang benar-benar tak punya apa-apa, ia sudah gila dansukanya keluyuran, menggelandang di jalanan. Suryati tak kuat lagi dengan gejolak kehidupan yang tidak memberinya ruang, hidup malah mengepung dan memenjarakannya, ia
merasa terasing untuk memanjangkan
umurnya. Lebih baik menggelandang dari pada hidup terbengkalai.
0 komentar:
Posting Komentar