“Punawar”
adalah nama jenaka yang kubuat untuknya, nama kawakan tua di usia mudanya, nama
masyhur di pandangan para santri, nama itu ku-bikin ketika bersahabat karib dengan
Anwar Fuadi, santri baru Pondok Pesantren An-Najah, santri baru yang pertama
aku melihatnya sudah tak bernafsu, santri baru yang tak semangat hidup, matanya
tak menganga penuh, tubuhnya kurus, ringkih, dan runduk. Aku pun terpaksa
mengenalnya.
Kubawa Anwar Fuadi ke Daerah Al-Ghazali
blok-D. Nama salah satu daerah dan asrama pondok Pesantren An-Najah, di mana Ia
akan berdiam dan dipenjara dari kemasiatan.
“silahkan masuk Mas Anwar” aku
mempersilahkan.
Pertamanya
aku dilema mau panggil apa, tapi ketika aku tahu Anwar dari kota, maka aku
panggil Mas saja.
“oiyaa..yaa.. Ndoro!” sahutnya
menguliti perasaanku.
Mengapa
Ia panggil Ndoro? bukan Kakak, Mas, atau Salihin saja. Dia begitu lancang,
sebagai santri baru dan belum kenal jauh denganku.
“di sini tempat tidurmu, kamar ini
berisi empat puluh orang santri, lemarimu di ujung sana, dan warna putih itu lemariku,
jadi mulai saat ini kamu sah menjadi santri Pondok Pesantren An-Najah.”
Timpalku untuk menyambut santri baru agar Ia kerasan. “seandainya ini bukan
karena perintah Kyai Bakir, siapa juga berbaik hati dengan santri baru yang
kena psikopat itu”.
“terima.. terima.. ka.ka.-kasih
Ndoro” seropotnya gagap, dan membuyarkan bisikan hatiku.
“sama-sama Punawar” tambahku kesal.
Seminggu Anwar Fuadi tinggal di Pesantren,
tampaknya Ia telah mengenal organ tubuh pesantren seutuhnya, mulai dari
kegiatan pengajian, shalat berjemaah, piket kebersihan, tugas menanak, membantu
keluarga dalem, dan jadwal muazin di masjid. Semua Ia jalani dengan sepenuh
hati walau pun semua ini adalah ihwal
baru dan begitu mengekang. Maklum, Anwar anak kota yang tidak pernah menelan pil
pahit kehidupan Pesantren.
Sebulan lebih Anwar Fuadi berada di
penjara suci ini, dan selama itu persaudaraan kami terjalin. Kami begitu akrab
dan telah menganggap saudara sendiri. Sikap autis dan ketus yang selama ini
bergema di tubuhku ternyata lambat laun mengempis, karena aku tahu Punawar
(Anwar Fuadi) begitu baik, ramah, dan di balik sikap nyeleneh-nya tersimpan rahasia-rahasia yang membikin aku selalu
penasaran.
Bayangkan saja Anwar adalah santri satu-satunya
yang telah mencicipi berbagai takzir (hukuman)
di Pesantren An-Najah, mulai mencuci kakus, menyapu seluruh area pondok yang
luasnya delapan hektar, dibotaki kepalanya, atau meminta tanda tangan ke semua santri
yang jumlahnya ribuan. Sungguh manusia yang pantas dimasukkan ke book world
record (buku rekor dunia) sebagai santri paling sering dihukum.
Ketika Anwar mengaji kitab klasik,
Ia dengan rasa tak bersalah tidur begitu saja di atas kursinya, kepalanya Ia
sandarkan ke meja lapang di depannya. Walau pun Kyai Bakir sering mengoper
tempat duduknya ke tempat lain, tetap saja Ia tidur, tak jarang Ia juga di-takzir berdiri sampai pengajian selesai.
Itu pun tak begitu ampuh, Ia masih berayun-ayun sambil memejamkan mata.
Atau di waktu Anwar sedang shalat
berjema’ah, Ia santri paling lambat hadir ke Masjid, pun ketika mendapat
giliran azan, Ia terhuyung-huyung melafalkannya, rentetan kalimatnya sering
tertukar. Ia pula sering gasab
barang-barang santri, membawa sandal orang, memakai handuk orang, memakai sabun
orang, bahkan kolor teman santrinya juga Ia pakai.
Di Pesantren, Ia tak banyak mendapat sahabat, karena
kelakuannya yang sering merugikan orang lain, selama delapan tahun, akulah
satu-satunya sahabat karibnya, hingga banyak teman santri yang menyuruhku untuk
menjahui Anwar, aku pun hampir menjahuinya, tapi ketika melihat kebaikan yang
telah Anwar kasih, aku jadi tak tega.
***
“Anwar..! Anwar..!” Kyai Bakir
melacak.
“Saya Kyai,”
“Bisakah kau cari kayu ke hutan” Tambah Kyai Bakir
memikulinya sebuah amanah.
“Siap, Kyai ” jawabnya tegas, laksana pimpinan upacara
setelah melapor.
Memang sudah bawaan
Anwar suka blak-blakan, Kyai Bakir sudah maklum.
Anwar memang manut kalau di beri tugas dari Kyai Bakir atau
keluarga dalem, Ia abdikan seluruh jiwa dan raganya, Ia menjadi khadam keluarga
dalem sedari baru mondok di Pesantren An-Najah, kalau ditanya lebih suka mana
bekerja di dalem dan belajar layaknya santri lain, Ia lantang menjawab lebih
suka bekerja untuk keluarga dalem, alasannya kalau belajar di kelas selalu mengundang
kantuk, nah kalau di suruh bekerja aku semangat sekali, biar seharian aku pasti
sanggup kok.
Apalagi musim panen tebu begini, lahan milik Pesantren yang
di tumbuhi tebu itu, Anwar yang memanen semuanya sendirian. Atau ketika air
lagi mampet, membeli belanjaan dapur semuanya Anwar yang menghandel. Di otaknya
hanya berisi pengabdian dan pengabdian.
***
Matahari terus berputar,
waktu terus menggelinding, dan umur terus menanjak. Aku pun sudah kangen sekali
ingin tertawa bareng dengan Punawar (Anwar Fuadi), ingin rasanya bermain bola
berdua lagi. Kami telah berpisah kurang lebih tiga puluh tahun, tak ada kabar
sedikitpun tentangnya, dan tak kubayangkan Ia telah menjadi apa sekarang, nau’zubillah kalau Ia telah meninggal
dunia, aku pun tak tahu.
Ketika lamunan itu terus
mengembara, aku pun ikut melanglang bersama matahari siang ini, tiba-tiba langkahku
tersengal oleh dentuman suara lelaki dari kejahuan, banyak jiwa yang
mengerubungi suara itu, aku pun tambah penasaran siapa di balik kerumunan itu.
Dengan was-was aku merazia ruang
sempit di tumpukan orang, barangkali aku bisa menyaksikan Dai kondang itu dari
dekat, dengan tubuh gepeng, akhirnya aku
sampai di barisan terdepan.
Subhanallah! Dai kondang itu membuat aku tertegun, Ia
mengkafani tubuhnya dengan jubah putih,
kepalanya mengenakan kopiah puih dengan lilitan sorban kecoklatan. Tapi, bukan bajunya
yang membuat aku melenguh. Dahinya itu lhoo, mata sipit itu, dan tubuh
ringkihnya, membawa ingatanku ke tiga puluh tahun lalu. Apakah dia Anwar?, Benarkah
itu Anwar?, Bagaimana bisa?, Bagaimana bisa?.
“Siapakah Dai itu bu?” Aku bertanya pada seorang perempuan
di dekatku.
“oo.. beliau Ustad Anwar Fuadi Mas” sanggah ibu itu, hingga
membuatku gemetar, dan sekajap itu jua, terus saja mulutku membusa kalimat
“subhanallah”.
Subhanallah! Jika
Allah SWT. Sudah berkehendak, semudah kedipan mata semuanya terjadi, siapa
sangka, orang seperti Anwar, orang yang dianggap tak ada apa-apanya, telah
menjelma manusia alim (berilmu) yang derajatnya telah di-tinggikan Allah SWT.
Kutub, April 2014.
0 komentar:
Posting Komentar