Rabu, 20 Juli 2016

Gus Anwar



“Punawar” adalah nama jenaka yang kubuat untuknya, nama kawakan tua di usia mudanya, nama masyhur di pandangan para santri, nama itu ku-bikin ketika bersahabat karib dengan Anwar Fuadi, santri baru Pondok Pesantren An-Najah, santri baru yang pertama aku melihatnya sudah tak bernafsu, santri baru yang tak semangat hidup, matanya tak menganga penuh, tubuhnya kurus, ringkih, dan runduk. Aku pun terpaksa mengenalnya.

            Kubawa Anwar Fuadi ke Daerah Al-Ghazali blok-D. Nama salah satu daerah dan asrama pondok Pesantren An-Najah, di mana Ia akan berdiam dan dipenjara dari kemasiatan.
            “silahkan masuk Mas Anwar” aku mempersilahkan.
Pertamanya aku dilema mau panggil apa, tapi ketika aku tahu Anwar dari kota, maka aku panggil Mas saja.
            “oiyaa..yaa.. Ndoro!” sahutnya menguliti perasaanku.
Mengapa Ia panggil Ndoro? bukan Kakak, Mas, atau Salihin saja. Dia begitu lancang, sebagai santri baru dan belum kenal jauh denganku.
            “di sini tempat tidurmu, kamar ini berisi empat puluh orang santri, lemarimu di ujung sana, dan warna putih itu lemariku, jadi mulai saat ini kamu sah menjadi santri Pondok Pesantren An-Najah.” Timpalku untuk menyambut santri baru agar Ia kerasan. “seandainya ini bukan karena perintah Kyai Bakir, siapa juga berbaik hati dengan santri baru yang kena psikopat itu”.

            “terima.. terima.. ka.ka.-kasih Ndoro” seropotnya gagap, dan membuyarkan bisikan hatiku.
            “sama-sama Punawar” tambahku kesal.

            Seminggu Anwar Fuadi tinggal di Pesantren, tampaknya Ia telah mengenal organ tubuh pesantren seutuhnya, mulai dari kegiatan pengajian, shalat berjemaah, piket kebersihan, tugas menanak, membantu keluarga dalem, dan jadwal muazin di masjid. Semua Ia jalani dengan sepenuh hati  walau pun semua ini adalah ihwal baru dan begitu mengekang. Maklum, Anwar anak kota yang tidak pernah menelan pil pahit kehidupan Pesantren.  

            Sebulan lebih Anwar Fuadi berada di penjara suci ini, dan selama itu persaudaraan kami terjalin. Kami begitu akrab dan telah menganggap saudara sendiri. Sikap autis dan ketus yang selama ini bergema di tubuhku ternyata lambat laun mengempis, karena aku tahu Punawar (Anwar Fuadi) begitu baik, ramah, dan di balik sikap nyeleneh-nya tersimpan rahasia-rahasia yang membikin aku selalu penasaran.

            Bayangkan saja Anwar adalah santri satu-satunya yang telah mencicipi berbagai takzir (hukuman) di Pesantren An-Najah, mulai mencuci kakus, menyapu seluruh area pondok yang luasnya delapan hektar, dibotaki kepalanya, atau meminta tanda tangan ke semua santri yang jumlahnya ribuan. Sungguh manusia yang pantas dimasukkan ke book world  record (buku rekor dunia) sebagai santri paling sering dihukum.

            Ketika Anwar mengaji kitab klasik, Ia dengan rasa tak bersalah tidur begitu saja di atas kursinya, kepalanya Ia sandarkan ke meja lapang di depannya. Walau pun Kyai Bakir sering mengoper tempat duduknya ke tempat lain, tetap saja Ia tidur, tak jarang Ia juga di-takzir berdiri sampai pengajian selesai. Itu pun tak begitu ampuh, Ia masih berayun-ayun sambil memejamkan mata.  

            Atau di waktu Anwar sedang shalat berjema’ah, Ia santri paling lambat hadir ke Masjid, pun ketika mendapat giliran azan, Ia terhuyung-huyung melafalkannya, rentetan kalimatnya sering tertukar. Ia pula sering gasab barang-barang santri, membawa sandal orang, memakai handuk orang, memakai sabun orang, bahkan kolor teman santrinya juga Ia pakai.

Di Pesantren, Ia tak banyak mendapat sahabat, karena kelakuannya yang sering merugikan orang lain, selama delapan tahun, akulah satu-satunya sahabat karibnya, hingga banyak teman santri yang menyuruhku untuk menjahui Anwar, aku pun hampir menjahuinya, tapi ketika melihat kebaikan yang telah Anwar kasih, aku jadi tak tega.

***

            “Anwar..! Anwar..!” Kyai Bakir melacak.
            “Saya Kyai,”
“Bisakah kau cari kayu ke hutan” Tambah Kyai Bakir memikulinya sebuah amanah.
“Siap, Kyai ” jawabnya tegas, laksana pimpinan upacara setelah melapor.
Memang  sudah bawaan Anwar suka blak-blakan, Kyai Bakir sudah maklum.

Anwar memang manut kalau di beri tugas dari Kyai Bakir atau keluarga dalem, Ia abdikan seluruh jiwa dan raganya, Ia menjadi khadam keluarga dalem sedari baru mondok di Pesantren An-Najah, kalau ditanya lebih suka mana bekerja di dalem dan belajar layaknya santri lain, Ia lantang menjawab lebih suka bekerja untuk keluarga dalem, alasannya kalau belajar di kelas selalu mengundang kantuk, nah kalau di suruh bekerja aku semangat sekali, biar seharian aku pasti sanggup kok.

Apalagi musim panen tebu begini, lahan milik Pesantren yang di tumbuhi tebu itu, Anwar yang memanen semuanya sendirian. Atau ketika air lagi mampet, membeli belanjaan dapur semuanya Anwar yang menghandel. Di otaknya hanya berisi pengabdian dan pengabdian.

                                                                     ***       

Matahari terus berputar, waktu terus menggelinding, dan umur terus menanjak. Aku pun sudah kangen sekali ingin tertawa bareng dengan Punawar (Anwar Fuadi), ingin rasanya bermain bola berdua lagi. Kami telah berpisah kurang lebih tiga puluh tahun, tak ada kabar sedikitpun tentangnya, dan tak kubayangkan Ia telah menjadi apa sekarang, nau’zubillah kalau Ia telah meninggal dunia, aku pun tak tahu.

Ketika lamunan itu terus mengembara, aku pun ikut melanglang bersama matahari siang ini, tiba-tiba langkahku tersengal oleh dentuman suara lelaki dari kejahuan, banyak jiwa yang mengerubungi suara itu, aku pun tambah penasaran siapa di balik kerumunan itu.
Dengan was-was aku merazia ruang sempit di tumpukan orang, barangkali aku bisa menyaksikan Dai kondang itu dari dekat, dengan tubuh gepeng,  akhirnya aku sampai di barisan terdepan.
           
Subhanallah! Dai kondang itu membuat aku tertegun, Ia mengkafani tubuhnya dengan  jubah putih, kepalanya mengenakan kopiah puih dengan lilitan sorban kecoklatan. Tapi, bukan bajunya yang membuat aku melenguh. Dahinya itu lhoo, mata sipit itu, dan tubuh ringkihnya, membawa ingatanku ke tiga puluh tahun lalu. Apakah dia Anwar?, Benarkah itu Anwar?, Bagaimana bisa?, Bagaimana bisa?.

“Siapakah Dai itu bu?” Aku bertanya pada seorang perempuan di dekatku.
“oo.. beliau Ustad Anwar Fuadi Mas” sanggah ibu itu, hingga membuatku gemetar, dan sekajap itu jua, terus saja mulutku membusa kalimat “subhanallah”.

Subhanallah!  Jika Allah SWT. Sudah berkehendak, semudah kedipan mata semuanya terjadi, siapa sangka, orang seperti Anwar, orang yang dianggap tak ada apa-apanya, telah menjelma manusia alim (berilmu) yang derajatnya telah di-tinggikan Allah SWT. 
   

Kutub,  April 2014.

Share:

0 komentar:

Copyright © LAJANG KEMBARA | Powered by Blogger
Design by SimpleWpThemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com