Tiba-tiba aku teringat pada suatu mimpi—sekarang telah jadi
kenangan--dan tentu sangat tidak bisa aku lupakan: yakni bermimpi mendapat
hadiah sebuah mobil, rumah mewah, dan seorang gadis cantik yang siap
lahir-batin diperistri. Aku yakin, jika kalian berada diposisi yang sama pasti
juga merasakan debar maha dahsyat, sejuta pertanyaan membayangi pikiran, dan
menggangu hidup keseharian. Aku pun demikian, apakah dibalik isyarat mimpi ini
ya?, Apakah Tuhan telah sadar akan keadaanku yang luntang-lantung tak punya
uang?.
Entahlah! Sebulan berlalu, semua telah jadi kenangan, mimpi
itu sampai sekarang belum juga terwujud, mimpi aneh bin ajaib. Sempat aku
bertanya pada seorang ahli penduga (ramal) tentang mimpi yang tidak bisa
diterka juntrungannya itu, tapi bukan jawaban pemuas yang aku dapat, melainkan
ahli penduga itu menyampaikan kalimat satire: “jangan terlalu dipikirkan nak,
mimpi itu cuma bumbu-bumbu tidur, hapuslah kecemasanmu, hal yang berlalu akan
jadi kenangan, dan kenangan ada dari realitas yang tak terduga”. Sejak saat itu
aku penasaran, apa itu kenangan?
Dalam KBBI (Kenangan) adalah “sesuatu yang membekas dalam
ingatan, kesan manis-pahit yang sudah berlalu”. Sedangkan menurut Robert V.
Daniels adalah “Rekaman kehidupan yang sudah jadi sejarah dari tumpuan masa
silam, serta memori kolektif sumber pengalaman melalui pengembangan rasa
identitas sosial orang-orang dan prospek di masa yang akan datang”. Dan kita
tidak bisa menyangkal kalau kata “kenangan” juga membingkai kehidupan para
sastrawan dan karya sastra yang dihasilkannya.
Mnemo seorang sastrawan; Mnemo mempunyai
arti “kenangan”, kenangan yang pernah dialami oleh seseorang. Sedang Mnemo
seorang sastrawan adalah kenangan atau pengalaman sastrawan di masa lalu, baru
terjadi, dan sedari mungkin diabstraksikan ke dalam karya sastra dengan
mencaplok tokoh (aku) atau dengan tokoh lain yang berwatak seperti (aku)
penulisnya. Tulisan ini akan bercerita tentang hubungan
sosial/kenangan/pengalaman sastrawan dengan karya yang dihasilkannya.
Karya sastra adalah sebuah kristalisasi dari realitas dan
abtraksi (imaji) sastrawannya, karya sastra akan kering makna kalau apa yang
dituliskannya tidak pernah dialami dan disentuhnya, atau paling tidak sedikit
mencicipi kisah dan penderiataan sebelum dibekukan menjadi kata-kata dengan
bahasa renyah/gurih di hadapan pembaca.
Dalam pendekatan ekstrinsik kesusastraan, Lahirnya suatu
karya sastra tidak bisa lepas dari keadaan lingkungan sosial pengarangnya,
psikologi pengarangnya, dan kenangan pengarangnya. Selebihnya suatu karya
sastra selalu ditempatkan pada posisi yang sejajar antara karya dan
penciptanya. Karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dipahami,
dan dimanfaatkan oleh pembaca dengan pesan-pesan yang disampaikan pengarang. Menurut
Damono (www.scribd.com) karya sastra
merupakan gambaran kehidupan sosial dan produk masyarakat, sebab karya sastra
lahir dan berkembang dalam masyarakat berdasarkan desakan emosional atau
rasional dari masyarakat.
Oleh Karena itu, mencipta karya sastra, alangkah lebih baik,
sebelum menuliskan segala sesuatu tentang hidup ini (alam, orang lain, atau
linkungan sekitar), maka tuliskanlah tentang diri kita sendiri sebab diri kita
adalah daerah teritorial yang juga sama dengan karya sastra, area yang lebih
gampang disentuh. dimensi seseorang tentu tidak sebatas nama dan fisik (tubuh),
tetapi selalu berkaitan dengan posisi yang multi dimensi.
Meski ada kesan individualis begitu kentara, akan sastrawan
yang menulis dirinya sendiri, tapi dia berangkat dari kenangan/pengalaman yang
tidak remeh temeh, hal yang biasa kadang-kadang berwajah luar biasa ketika
seorang sastrawan mampu mengeksplor secara seksi dan menarik. Kita tidak pernah
lupa pada sosok Alice Munro (Kanada) sebagai peraih nobel sastra 2013, dia
menulis cerita pendek tentang perjuangan, cinta dan tragedi perempuan di kota
kecil yang membuatnya disebut “Master of Contemporary Short Stories”. Munro
dikenal sebagai pendongeng yang baik, dengan kejelasan dan realisme psikologis,
dalam cerpen-cerpennya dia sering menampilkan penggambaran kejadian keseharian
hidupnya yang menentukan, jenis pengalaman luar biasa, yang menerangi cerita
yang melingkupi dan membiarkan pertanyaan eksistensial muncul secara kilat.
Atau hubungan darah antara puisi “Aku” dengan penulisnya
“Chairil Anwar”, puisi yang memiliki latar pemberontakan dari segala bentuk
penindasan. Penulisnya ingin hidup seribu tahun lagi, namun ia menyadari
keterbatasan usinya. Dan kalau ajalnya tiba, ia tidak ingin seorangpun untuk
meratapinya. Menurut seorang sarjana sastra (AG Hadzarmawit Netti), puisi “Aku”
menekankan sifat individualistis Chairil Anwar. Puisi itu sendiri mencerminkan
kebutuhan Anwar untuk mengendalikan lingkungan dan tidak dibentuk oleh kekuatan
luar, dengan mengendalikan lingkungannya, Chiril Anwar mampu melindungi
kebebasan dan sifat individualistisnya.
Masih banyak sampel lain, tentang sastrawan yang tidak bisa
lepas dari kenangan/memori/mnemo, kehidupan privasi yang diselundupkan ke dalam
karyanya. Menuliskan dirinya sendiri bagi seorang sastrawan adalah keharusan
yang dibutuhkan, sebab sastrawan tidak akan mampu bicara manakala masih
bergantung pada ihwal diluar dirinya.
0 komentar:
Posting Komentar