Rabu, 13 Juli 2016

Mnemo Seorang Sastrawan



Tiba-tiba aku teringat pada suatu mimpi—sekarang telah jadi kenangan--dan tentu sangat tidak bisa aku lupakan: yakni bermimpi mendapat hadiah sebuah mobil, rumah mewah, dan seorang gadis cantik yang siap lahir-batin diperistri. Aku yakin, jika kalian berada diposisi yang sama pasti juga merasakan debar maha dahsyat, sejuta pertanyaan membayangi pikiran, dan menggangu hidup keseharian. Aku pun demikian, apakah dibalik isyarat mimpi ini ya?, Apakah Tuhan telah sadar akan keadaanku yang luntang-lantung tak punya uang?.


Entahlah! Sebulan berlalu, semua telah jadi kenangan, mimpi itu sampai sekarang belum juga terwujud, mimpi aneh bin ajaib. Sempat aku bertanya pada seorang ahli penduga (ramal) tentang mimpi yang tidak bisa diterka juntrungannya itu, tapi bukan jawaban pemuas yang aku dapat, melainkan ahli penduga itu menyampaikan kalimat satire: “jangan terlalu dipikirkan nak, mimpi itu cuma bumbu-bumbu tidur, hapuslah kecemasanmu, hal yang berlalu akan jadi kenangan, dan kenangan ada dari realitas yang tak terduga”. Sejak saat itu aku penasaran, apa itu kenangan?

Dalam KBBI (Kenangan) adalah “sesuatu yang membekas dalam ingatan, kesan manis-pahit yang sudah berlalu”. Sedangkan menurut Robert V. Daniels adalah “Rekaman kehidupan yang sudah jadi sejarah dari tumpuan masa silam, serta memori kolektif sumber pengalaman melalui pengembangan rasa identitas sosial orang-orang dan prospek di masa yang akan datang”. Dan kita tidak bisa menyangkal kalau kata “kenangan” juga membingkai kehidupan para sastrawan dan karya sastra yang dihasilkannya.

Mnemo seorang sastrawan; Mnemo mempunyai arti “kenangan”, kenangan yang pernah dialami oleh seseorang. Sedang Mnemo seorang sastrawan adalah kenangan atau pengalaman sastrawan di masa lalu, baru terjadi, dan sedari mungkin diabstraksikan ke dalam karya sastra dengan mencaplok tokoh (aku) atau dengan tokoh lain yang berwatak seperti (aku) penulisnya. Tulisan ini akan bercerita tentang hubungan sosial/kenangan/pengalaman sastrawan dengan karya yang dihasilkannya.

Karya sastra adalah sebuah kristalisasi dari realitas dan abtraksi (imaji) sastrawannya, karya sastra akan kering makna kalau apa yang dituliskannya tidak pernah dialami dan disentuhnya, atau paling tidak sedikit mencicipi kisah dan penderiataan sebelum dibekukan menjadi kata-kata dengan bahasa renyah/gurih di hadapan pembaca.

Dalam pendekatan ekstrinsik kesusastraan, Lahirnya suatu karya sastra tidak bisa lepas dari keadaan lingkungan sosial pengarangnya, psikologi pengarangnya, dan kenangan pengarangnya. Selebihnya suatu karya sastra selalu ditempatkan pada posisi yang sejajar antara karya dan penciptanya. Karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh pembaca dengan pesan-pesan yang disampaikan pengarang. Menurut Damono (www.scribd.com) karya sastra merupakan gambaran kehidupan sosial dan produk masyarakat, sebab karya sastra lahir dan berkembang dalam masyarakat berdasarkan desakan emosional atau rasional dari masyarakat.   

Oleh Karena itu, mencipta karya sastra, alangkah lebih baik, sebelum menuliskan segala sesuatu tentang hidup ini (alam, orang lain, atau linkungan sekitar), maka tuliskanlah tentang diri kita sendiri sebab diri kita adalah daerah teritorial yang juga sama dengan karya sastra, area yang lebih gampang disentuh. dimensi seseorang tentu tidak sebatas nama dan fisik (tubuh), tetapi selalu berkaitan dengan posisi yang multi dimensi.

Meski ada kesan individualis begitu kentara, akan sastrawan yang menulis dirinya sendiri, tapi dia berangkat dari kenangan/pengalaman yang tidak remeh temeh, hal yang biasa kadang-kadang berwajah luar biasa ketika seorang sastrawan mampu mengeksplor secara seksi dan menarik. Kita tidak pernah lupa pada sosok Alice Munro (Kanada) sebagai peraih nobel sastra 2013, dia menulis cerita pendek tentang perjuangan, cinta dan tragedi perempuan di kota kecil yang membuatnya disebut “Master of Contemporary Short Stories”. Munro dikenal sebagai pendongeng yang baik, dengan kejelasan dan realisme psikologis, dalam cerpen-cerpennya dia sering menampilkan penggambaran kejadian keseharian hidupnya yang menentukan, jenis pengalaman luar biasa, yang menerangi cerita yang melingkupi dan membiarkan pertanyaan eksistensial muncul secara kilat.

Atau hubungan darah antara puisi “Aku” dengan penulisnya “Chairil Anwar”, puisi yang memiliki latar pemberontakan dari segala bentuk penindasan. Penulisnya ingin hidup seribu tahun lagi, namun ia menyadari keterbatasan usinya. Dan kalau ajalnya tiba, ia tidak ingin seorangpun untuk meratapinya. Menurut seorang sarjana sastra (AG Hadzarmawit Netti), puisi “Aku” menekankan sifat individualistis Chairil Anwar. Puisi itu sendiri mencerminkan kebutuhan Anwar untuk mengendalikan lingkungan dan tidak dibentuk oleh kekuatan luar, dengan mengendalikan lingkungannya, Chiril Anwar mampu melindungi kebebasan dan sifat individualistisnya.

Masih banyak sampel lain, tentang sastrawan yang tidak bisa lepas dari kenangan/memori/mnemo, kehidupan privasi yang diselundupkan ke dalam karyanya. Menuliskan dirinya sendiri bagi seorang sastrawan adalah keharusan yang dibutuhkan, sebab sastrawan tidak akan mampu bicara manakala masih bergantung pada ihwal diluar dirinya.






Share:

0 komentar:

Copyright © LAJANG KEMBARA | Powered by Blogger
Design by SimpleWpThemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com