Aku nonton Liga Champions kemarin di pos kamling belakang
pesantren, sengaja aku minggat karena tv satu-satunya di pesantrenku
dikerubungi ratusan santri, tv-nya pun hanya 20 inch. Bayangkan coba!! Itu bisa
kayak ratusan lele mengerubungi satu paha ayam KFC. Akhirnya saya dan tiga
orang santri lainnya nekat lompat pagar pesantren, meskipun besok kepala kami
akan dibotaki pengurus, mboh..!! ra
ngurus.
Panggung final Liga Champions kali ini terasa sakral,
mempertemukan derby madrid, brand mark ibu kota negeri matador
Spanyol itu dua kali bertemu (di partai final Champions) dan dua kali pula
Atletico Madrid seok. Sepakbola bagiku adalah identitas, tidak afdal manakala
penggila bola belum punya klub favorit. Selain Madura United, aku penggila Real
Madrid dari kelas MTs (saudara SMP) hingga sekarang, meskipun hati terdalam aku
nge-fans banget sama nomor 11 di tim
barcelona. Hehehe...
Talking about football, Sepakbola
memiliki kedekatan serius dengan pesantren, rata-rata santri di pesantren
menggandrungi sepakbola, mulai dari kalangan santri mukim hingga santri kalong,
dari santri korengan hingga santri yang panuan. Aku ingat betul ketika kami
nunggu hari jumat, hari libur santri, dan hari magar santri untuk nyicipi kiriman orang tua. Tapi yang paling mbyarr di hari itu kami ada jadwal
manggung, manggung di lapangan hijau, lapangannya coklat sih.. karena tak sehelai rumput pun tumbuh di lapangan kami.
Di lapangan, bukan ke-sebelasan, tapi ke-duapuluhan, bahkan
ke-tigapuluhan pemain di masing-masing tim. Tidak seperti pesepakbola
konvensional, jersey pun harus sesuai
syar’i, tidak boleh buka aurat,
mengenakan celana dan sarung (wajib) di bawah lutut. Anehnya, sebagian santri
ada yang memakai kopiah di tengah lapangan, putih lagi. Alasannya menaati
Tatib, takut ketahuan pengurus, “pengurus bisa memebotaki kami kalau
buka-bukaan” sanggah temanku sebelum tulisan ini rampung.
Di pesantren, jangan sangka pengasuh tidak suka sepakbola.
Pengasuh pesantrenku adalah fans
berat Barcelona, ketika barca main,
otomatis jadwal pengajian diliburkan, meski ada undangan kondangan dan zibaan ke masyarakat beliau abstain dan
menolak datang.
Masih ingat nggak, pertengahan tahun 2015 lalu dibuka
pesantren sepakbola di Bekasi Jawa Barat, inisitif ini digemakan ketua Asosiasi
Sekolah Sepakbola Indonesia (ASSBI) Jursal Effendi, dan bekerjasama dengan
Pondok Pesantren An-Nadwah Lambangsari, Tambun Selatan, Bekasi. Sekolah ini
ingin mencetak pesepakbola yang berprestasi, mandiri, berpengetahuan luas, dan
bertaqwa kepada Allah SWT. Tak hanya tentang tetek-bengik “si kulit bundar”,
tapi juga belajar ngaji dan kegiatan agama lainnya. “pesepakbola yang religius”
kalau aku katakan.
Pagi-pagi latihan sepakbola, jam 08 sekolah formal, siangnya
istirahat, sorenya latihan sepakbola, kemudian jamaah maghrib dan isyak, habis
itu ngaji, istirahat, tengah malam sholat tahajjud, sholat subuh berjemaah, dan
pagi buta kembali latihan bola. Wahh kapan makannya tuhh....??
Lebih ekstrim lagi, salah satu Ormas Islam (Nahdlatul Ulama)
menggelar kompetisi sepakbola api antar-pesantren dalam Harlah PCNU di Magetan
bulan april 2016 kemarin. Kompetisi yang memperebutkan piala bergilir dan uang
pembinaan itu diikuti 16 klub se-Kabupaten Magetan, dengan menggunakan sarung,
kopiah, dan baju koko para pemain menggocek bola api, terbakar lho bolanya. Hati-hati, bolanya masuk ke
dalam sarung shob..!!, jaga baik-baik
kukuruyumu, sebelum cangkul memotongnya.
Di kompetisi hangat kaliber La Liga, Premiere League, Serie
A, ISL juga kayaknya, banyak kok
pesepakbola yang religius. Mezut Ozil salah satunya, sebelum masuk lapangan dan
setelah berhasil menjaringkan bola ke gawang, apa yang Ozil lakukan coba? Ia
berdoa dan seleberasi sujud syukur kan..? Banyak temanku dan termasuk aku juga
melakukan seleberasi demikian, pemain Jerman itu ternyata sosok berpengaruh
dalam kehidupan persepakbolaan kami.
Setali tiga mata uang, ada puluhan pemain religius lainnya
di lapangan hijau, kaliber Demba Ba, Bapiss Cisse, Adam Ljajic, Thiery Hendry,
Necholas Anelka, Mounir el Hamdouwi, Solei al Muntari, Younis Belhanda, bahkan
produksi game FIFA-14 membikin seleberasi sujud syukur ketika pemain muslim
mencetak gol. Apa mungkin Ozil dkk itu pernah nyantri di pesantren ya?
Di tanah air, masih ingat kan dengan Timnas U-19 asuhan
Indar Sjafri, sebelum masuk lapangan mereka berdoa laikya Ozil, dan ber-syaf
rapi melakukan sujud syukur setelah mencetak gol laiknya duo Senegal (Demba Ba
danBapiss Cisse). Dalam tour ke Timur Tengah, ketika laga hidup mati mengangkat
martabat Indonesia, sempat-sempatnya mereka umroh, botak lagi, pakai gamis
putih berpose di depan kakbah. Ciluu
baa...!!
Di pesantrenku, boro-boro mereka berhenti main meski peluit
dibunyikan, mendengar suara azan baru berhenti, peluit kurang ampuh jadi
pengadil yang mengusir.
Komentator bola menurutku paling keren adalah ustadku, adem
gitu: “masih, omar... masih omar... ya
masih omar.. melewati satu pemain, dua pemain, tiga pemain Subhanallah sungguh dribble yang sangat cantik.”
“ya masih omar... masih omar..
omar membagi bola ke depan, tapi temannya diam saja.. Innalillah ternyata dia pemain cadangan. ”
Tidak sama dengan pemain konvensional kejamakan, nomor
punggungnya pun pakek huruf hijaiyah. Karena takut riya’ namanya pun seragam
dengan jargon “Hamba Allah.”
0 komentar:
Posting Komentar