Judul Buku : Soekarno-Hatta-Syahrir (Kisah dan Memoar Tiga Macan Asia di Tengah Hiruk Pikuk Perjuangan)
Penulis
: M. Romandhon MK
Cetakan
: I, Mei 2015
Penerbit
: Araska
ISBN : 978-602-300-143-9
Tebal : 248 Halmn: 14x20,5 cm.
Peresensi
: Khairul Mufid Jr*
“Berdaulat dalam politik
Berdikari dalam ekonomi
Dan berkepribadian dalam kebudayaan”
Ir. Soekarno.
Konsep Tri Sakti di atas disampaikan
Soekarno pada pidatonya menyambut Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik
Indonesia, pada tanggal 17 Agustus 1964. Konsep ini menjadi bahan ajar dan
rujukan pasca kemerdekaan Indonesia 1945, karena cita-cita Soekarno; ingin Indonesia
menjadi bangsa yang besar baik secara politik, ekonomi, maupun kebudayaan.
Konsep Tri Sakti adalah satu warisan
dari ribuan lainnya yang diberikan Soekarno kepada bangsa ini, Tri Sakti menjadi
alarm kebangkitan Indonesia di masa depan, karena selama masa
kolonialisme-imperialisme Belanda, bangsa Indonesia berada dalam hegemoni penjajah
yang tidak sebentar. Antonio Gramsci menjelaskan bahwa kekuasaan yang menindas
berupaya mengusai seluruh keadaaan melalui cara yang paling kuat yaitu hegemoni,
baik dalam tataran nilai ataupun tindakan. Intelektual dari Italia ini
mengungkapkan berbagai contoh hegemoni dalam catatannya (Selection from the
Prisons Notebooks), yang menyatakan hegemoni bisa mempengaruhi semua aspek
kehidupan.
Selama puluhan atau ratusan tahun Indonesia berada dalam
lingkar penjajahan tersebut, banyak korban berjatuhan, menjadikan masyarakat pribumi
abdi (pelayan) tetap mereka, disuruh dan dipaksa untuk memenuhi hajat hedonis,
banyak kerugian yang diderita bangsa ini, sehingga tak jarang kita saling bunuh
hanya untuk sesuap nasi.
Ketika carut marut bangsa ini tiada ujung, ketika semua
orang bungkam ketakutan, maka lahirlah trio macan Indonesia yang akan
membebaskan dan memerdekakan bangsa Indonesia, mereka adalah Soekarno, Hatta,
dan Syahrir yang ketiganya dipertemukan dalam satu panggung perjuangan
kemerdekaan, untuk melawan kolonialisme dan imperialisme, mereka bersahabat,
berkongsi, berbeda pendapat, dan mungkin menjadi rival.
Dalam buku Soekarno-Hatta-Syahrir karya M. Romandhon
MK ini, menyuarakan kiprah dan keteladananan trio macan Indonesia. dipadukan dalam
bingkai kemerdekaan, tiga tokoh besar ini telah berkontribusi besar terhadap
lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Bapak bangsa
(Fouding Fathers) Soekarno misalnya, dia seorang yang genius, paham
seni, orator ulung, kosmopolitan, nasionalis, islamis, rendah hati meski di
atas podium laksana singa, dan memiliki hubungan sosial yang sangat baik kepada
teman, keluarga, dan dalam diplomasi ke Negara lain. Karakter hebat itu dia
peroleh dari masa kemasa, baik ketika dia belajar ke kakeknya di Tulung Agung,
belajar di Eerste Inlandse School (EIS), Europeesche Lagere School (ELS),
Hoogere Burger School (HBS) di Surabaya, sehingga waktu itu ia kenal seorang
guru orasinya Tjokroaminoto, selanjutnya dia belajar di Technische Hoge School
(THS) atau yang dikenal saat ini adalah Instiut Teknologi Bandung (ITB). (hal.
28).
Ada dua fase penting dalam proses
pergerakan kemerdekaan yang dilalui oleh Soekarno. Pertama, tatkala ia
menggembleng diri di Surabaya, tepatnya pada sang guru Tjokroaminoto. Di
kediaman Tjokroaminoto inilah Soekarno menyerap banyak hal tentang teori-teori
politik kala itu. Fase kedua, ketika ia hijrah ke Bandung, di tempat barunya
inilah Soekarno banyak memperoleh pelajaran mengenai sosialis-demokrat, bahkan
demokrat radikal Belanda. Situasi yang demkian ini menimbulkan semangat yang
membara dalam diri Bung Karno. Persinggungannya dengan Tjipto Mangunkusumo dan
Douwes Dekker membawanya pada cita-cita untuk mewujutkan mimpi tentang kesatuan
Indonesia. (Hal. 47)
Sedangkan Founding Fathers Mohammad
Hatta adalah salah satu tokoh penting dalam melahirkan proklamasi kemerdekaan
Indonesia. Semangat dan perjuangannya untuk tanah air tercinta menjadi spirit
yang tak pernah padam. Ia adalah inspirasi terbesar abad 20 bagi bangsa
Indonesia.
Kiprah Hatta untuk kemerdekaan
Republik Indonesia sungguh sangat luar biasa besar. Bersama Soekarno, Hatta
melakukan berbagai diplomasi kenegaraan untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia.
Puncaknya pada 9 Agustus 1945, Hatta dan Soekarno diminta datang ke Dalat,
yakni tempat kedudukan Jendral Terauchi, panglima angkatan perang Jepang di
Asia Tenggara. (Hal. 89)
Selain seorang negarawan, Hatta juga
dikenal sebagai pemikir yang multitalenta, karena cakupan pemikirannya amat
beragam. Mulai dari kebangsaan, pendidikan, ekonomi, filsafat, hingga hukum
tata Negara. Dalam mengurai konstruksi pemikiran Hatta, setidaknya ada dua
aspek penting. Pertama, tentang pemikirannya mengenai konsep kebangsaan. Kedua,
mengenai pemikirannya tentang ekonomi kerakyatan.
Sutan Syahrir sendiri adalah seorang
diplomat ulung yang pernah dimiliki bangsa ini, ia juga seorang edukator sejati
dan pemimpin muda yang selalu menyuarakan api revolusi. “Hidup yang tak
dipertaruhkan, adalah hidup yang tak dimenangkan”, demikian kata-kata bijak
yang sering didengungkan Syahrir. Syahrir merupakan tokoh nasional yang sangat
erat kaitanyya dengan Soekarno dan Hatta. Mereka ibarat dua sisi mata uang,
berbeda namun tetap satu bingkai yang sama.
Ketiga-tiganya memiliki corak dan
gaya berpikir yang berbeda. Soekarno yang karismatik dan juga orasinya yang
mampu membuat nyali musuh menciut, begitu halnya Hatta, ia adalah sosok
negarawan yang flamboyan dan juga seorang pemikir genius sekaligus rela mati
demi kebenaran, sementara Syahrir adalah diplomat ulung dan mempunyai jiwa
patriot yang sangat tinggi. Ketiganya adalan representasi paripurna dari (trio
macan Indonesia) yang selalu disegani oleh bangsa Indonesia bahkan
pemimpin-pemimpin dunia.
Maka buku ini hadir untuk menelusuri
jejak historisitas Founding Fathers Indonesia, dan mempertemukan trio
macan ini dalam bingkai kemerdekaan, buku ini juga sebagai penelusur kembali
sengketa dan kiprah dari ketiga tokoh pejuang/bapak bangsa. Akhirnya, selamat
membaca.!
Kutub
2015
0 komentar:
Posting Komentar