Rabu, 13 Juli 2016

Nobel, Jurnalis, dan Prosa Polifonik



Dia adalah pengangkat monumen penderitaan dan keberanian saat ini, karya polifoniknya berdiri di antara dokumenter dan novel, di antara non-fiksi dan fiksi, karyanya bukan hanya tentang “sejarah emosi-bahkan sejarah jiwa”, sebuah karya sastra pncerah yang tidak hanya materinya tetapi juga karena bentuk karyanya. Svetlana Alexievich punya nama, seorang jurnalis dari Belarusia.


Nobel di Swedia kembali membuat kejutan, manakala memberikan penghargaan Nobel Sastra 2015, kepada Svetlana Alexievich seorang jurnalis dan penulis berkebangsaan Belarusia atas prosa-prosa uniknya. Seorang perempuan yang memiliki kepekaan luar biasa untuk merekam “sejarah lisan” dan mencatat ribuan suara individu pada masa dan setelah tumbangnya rezim komunis Uni Soviet.

Setelah dilakukan seleksi sangat ketat, dengan nominator awalnya sekitar 220 nama. Akhirnya Alexievich, berhak mendapat penghargaan sastra paling prestisius itu. Ia banyak menyingkirkan beberapa sastrawan kenamaan seperti Sastrawan Jepang Haruki Murakami, Ngugi wa Thiong’o dari Kenya, Jon Fosse dari Norwegia, John Banville dari Irlandia, penyair Suriah Adonis (Ali Ahmad Said Esber), dan dua calon dari Amerika Serikat, Joyce Carol Oates dan Philip Roth.

Lahir dari ayah yang berasal dari Belarusia dan ibu dari Ukraina tepatnya di Ivano-Frankivsk, Ukraina, pada 31 Mei 1948.  Alexievich belajar jurnalisme di perguruan tinggi, dan setelah lulus, ia bekerja di sebuah surat kabar di Brest, dekat perbatasan Polandia. Kemudian, ia mulai mencari bentuk karya sastra baru yang akan memungkinkannya menangkap kehidupan dan berbagai suara dari setiap individu di pusat peristiwa bersejarah. Dia pun tertarik ke arah sejarah lisan, karena dapat mengadopsi suara subjeknya seperti bunglon dan juga mencerminkan berbagai pengalaman.

Uniknya ia menjadi perempuan ke-14 yang memenangkan hadiah tersebut sejak diadakan pertama kali pada 1901. Alexievich (67) adalah seorang penulis politik, dokumenter, dan novel yang kritis terhadap pemerintah di negara asalnya. Hal tersebut menempatkan karyanya sejajar dengan sastrawan Internasional lainnya seperti Gabrial Garcia Marquez, Albert Camus, Alice Munro dan Toni Morrison, serta usaha komite Nobel tersebut telah memberi penghargaan lebih pada genre yang sering dipandang sebagai pemberi informasi belaka daripada usaha estetika.

Banyak dari buku-bukunya yang bersumber dari sejarah lisan yang rinci. Karyanya yang paling terkenal adalah War’s Unwomanly Face (1988), yang dibuat berdasarkan wawancara dengan ratusan perempuan yang mengambil bagian dalam Perang Dunia II. Buku ini adalah seri pertama dalam seri Voices of Utopia, yang menggambarkan kehidupan di Uni Soviet dari sudut pandang warga biasa.                                                                                                                                                                

Prosa Polifonik 

Cerita-cerita Svetlana Alixievich berangkat dari fakta-fakta sejarah dan sejarah lisan, memiliki kualitas liris dengan gaya dan perspektif yang berbeda. Dia terkenal dalam menyuarakan wanita dan pria yang hidup dalam peristiwa besar seperti pendudukan Soviet di Afganistan 1979-1989 dan bencana nuklir Chernobyl tahun 1986, di mana dalam peritiwa itu kakaknya tewas dan ibunya menjadi buta.

“Di dalam karya-karyanya terkandung banyak unsur seni,” kata Philip Gourevitch, penulis dan juri Nobel. “suaranya (opini) melalui karya, jauh lebih banyak daripada suara-suara yang ia kumpulkan (sebagai berita).” Tambahnya. 
            Karya Alexievich mirip sastra tradisi lama dengan kedalaman laporan narasi nonfiksi yang ditulis dengan gaya khas novel. Dia mencari genre sastra paling memadai bagi visinya pada dunia untuk menyampaikan apa yang telinganya dengar dan matanya melihat dalam kehidupan.
Prosa polifonik telah menjadi titian Alixievich, sebuah fitur narasi yang mencakup keragaman sudut pandang dan suara. Konsep tersebut telah dikenalkan pertama kali dalam hidangan mentah oleh Mikhail Bakhtin, ia menggambarkan laksana konsep musik polifoni. Bakhtin menyatakan bahwa polifoni dan heteroglossia adalah fitur yang mendefinisikan novel polifonik sebagai genre sastra.
Bagi Alexievich, sebuah kondisi fundamental dari suata genre adalah bahwa ia mempresentasikan speaking subject dalam suatu kancah wacana yang mejemuk. Ia percaya bahwa, tidak ada dunia kebudayaan ataupun bahasa yang benar-benar integrated. Prosa polifonik adalah prosa yang banyak mengandung suara, kesadaran, dan gagasan yang bebas dan penuh makna.
Alexievich sebagai pribadi sederhana, saat pihak Akademi Swedia meneleponnya untuk memberitahu bahwa penghargaan Nobel Sastra 2015 diberikan kepadanya, ia tengah di rumah dan sedang "menyeterika". Ia berkata hadiah senilai delapan juta krona Swedia (sekitar Rp 16,5 miliar) akan "memberinya kebebasan".
"Saya butuh waktu lama untuk menulis satu buku," kata Alexievich saat diwawancarai oleh majalah The Guardian, "antara lima hingga sepuluh tahun. Saya punya dua ide untuk buku-buku baru sehingga saya senang sekarang bisa memiliki kebebasan untuk mengerjakannya."
Oleh sebab buku-bukunya sangat tidak biasa dan sulit dikategorikan ke dalam jenis fiksi atau non-fiksi, maka sebagian besar penerbit di Inggris dan Amerika Serikat enggan mengambil risiko untuk menerbitkan buku-bukunya. Saat ini sangat sulit mendapatkan buku-buku terjemahan berbahasa Inggris atas karya-karyanya. Namun, hal itu akan segera berubah setelah ia menerima penghargaan Nobel Sastra tahun 2015. Alexievich, “Selamat atas berdiri kokohnya monomen untuk penderitaan dan keberanian” yang telah kamu bangun.






Share:

0 komentar:

Copyright © LAJANG KEMBARA | Powered by Blogger
Design by SimpleWpThemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com