Dia adalah pengangkat monumen penderitaan dan keberanian
saat ini, karya polifoniknya berdiri di antara dokumenter dan novel, di antara
non-fiksi dan fiksi, karyanya bukan hanya tentang “sejarah emosi-bahkan sejarah
jiwa”, sebuah karya sastra pncerah yang tidak hanya materinya tetapi juga
karena bentuk karyanya. Svetlana Alexievich punya nama, seorang jurnalis dari
Belarusia.
Nobel di Swedia kembali membuat kejutan, manakala memberikan
penghargaan Nobel Sastra 2015, kepada Svetlana Alexievich seorang jurnalis dan
penulis berkebangsaan Belarusia atas prosa-prosa uniknya. Seorang perempuan
yang memiliki kepekaan luar biasa untuk merekam “sejarah lisan” dan mencatat
ribuan suara individu pada masa dan setelah tumbangnya rezim komunis Uni
Soviet.
Setelah dilakukan seleksi sangat ketat, dengan nominator
awalnya sekitar 220 nama. Akhirnya Alexievich, berhak mendapat penghargaan
sastra paling prestisius itu. Ia banyak menyingkirkan beberapa sastrawan
kenamaan seperti Sastrawan Jepang Haruki Murakami, Ngugi wa Thiong’o dari
Kenya, Jon Fosse dari Norwegia, John Banville dari Irlandia, penyair Suriah
Adonis (Ali Ahmad Said Esber), dan dua calon dari Amerika Serikat, Joyce Carol
Oates dan Philip Roth.
Lahir dari ayah yang berasal dari Belarusia dan ibu dari
Ukraina tepatnya di Ivano-Frankivsk, Ukraina, pada 31 Mei 1948. Alexievich belajar jurnalisme di perguruan
tinggi, dan setelah lulus, ia bekerja di sebuah surat kabar di Brest, dekat
perbatasan Polandia. Kemudian, ia mulai mencari bentuk karya sastra baru yang
akan memungkinkannya menangkap kehidupan dan berbagai suara dari setiap
individu di pusat peristiwa bersejarah. Dia pun tertarik ke arah sejarah lisan,
karena dapat mengadopsi suara subjeknya seperti bunglon dan juga mencerminkan
berbagai pengalaman.
Uniknya ia menjadi perempuan ke-14 yang memenangkan hadiah
tersebut sejak diadakan pertama kali pada 1901. Alexievich (67) adalah seorang
penulis politik, dokumenter, dan novel yang kritis terhadap pemerintah di negara
asalnya. Hal tersebut menempatkan karyanya sejajar dengan sastrawan
Internasional lainnya seperti Gabrial Garcia Marquez, Albert Camus, Alice Munro
dan Toni Morrison, serta usaha komite Nobel tersebut telah memberi penghargaan
lebih pada genre yang sering dipandang sebagai pemberi informasi belaka
daripada usaha estetika.
Banyak dari buku-bukunya yang bersumber dari sejarah lisan
yang rinci. Karyanya yang paling terkenal adalah War’s Unwomanly Face (1988), yang dibuat berdasarkan wawancara
dengan ratusan perempuan yang mengambil bagian dalam Perang Dunia II. Buku ini
adalah seri pertama dalam seri Voices of
Utopia, yang menggambarkan kehidupan di Uni Soviet dari sudut pandang warga
biasa.
Prosa Polifonik
Cerita-cerita Svetlana Alixievich berangkat dari fakta-fakta
sejarah dan sejarah lisan, memiliki kualitas liris dengan gaya dan perspektif
yang berbeda. Dia terkenal dalam menyuarakan wanita dan pria yang hidup dalam
peristiwa besar seperti pendudukan Soviet di Afganistan 1979-1989 dan bencana
nuklir Chernobyl tahun 1986, di mana dalam peritiwa itu kakaknya tewas dan
ibunya menjadi buta.
“Di dalam karya-karyanya terkandung banyak unsur seni,” kata
Philip Gourevitch, penulis dan juri Nobel. “suaranya (opini) melalui karya,
jauh lebih banyak daripada suara-suara yang ia kumpulkan (sebagai berita).”
Tambahnya.
Karya Alexievich mirip sastra tradisi
lama dengan kedalaman laporan narasi nonfiksi yang ditulis dengan gaya khas
novel. Dia mencari genre sastra paling memadai bagi visinya pada dunia untuk
menyampaikan apa yang telinganya dengar dan matanya melihat dalam kehidupan.
Prosa polifonik telah menjadi
titian Alixievich, sebuah fitur narasi yang mencakup keragaman sudut pandang
dan suara. Konsep tersebut telah dikenalkan pertama kali dalam hidangan mentah
oleh Mikhail Bakhtin, ia menggambarkan laksana konsep musik polifoni. Bakhtin
menyatakan bahwa polifoni dan heteroglossia
adalah fitur yang mendefinisikan novel polifonik sebagai genre sastra.
Bagi Alexievich, sebuah
kondisi fundamental dari suata genre adalah bahwa ia mempresentasikan speaking subject dalam suatu kancah
wacana yang mejemuk. Ia percaya bahwa, tidak ada dunia kebudayaan ataupun
bahasa yang benar-benar integrated.
Prosa polifonik adalah prosa yang banyak mengandung suara, kesadaran, dan
gagasan yang bebas dan penuh makna.
Alexievich sebagai pribadi
sederhana, saat pihak Akademi Swedia meneleponnya untuk memberitahu bahwa
penghargaan Nobel Sastra 2015 diberikan kepadanya, ia tengah di rumah dan
sedang "menyeterika". Ia berkata hadiah senilai delapan juta krona
Swedia (sekitar Rp 16,5 miliar) akan "memberinya kebebasan".
"Saya butuh waktu lama
untuk menulis satu buku," kata Alexievich saat diwawancarai oleh majalah
The Guardian, "antara lima hingga sepuluh tahun. Saya punya dua ide untuk
buku-buku baru sehingga saya senang sekarang bisa memiliki kebebasan untuk
mengerjakannya."
Oleh sebab buku-bukunya sangat
tidak biasa dan sulit dikategorikan ke dalam jenis fiksi atau non-fiksi, maka
sebagian besar penerbit di Inggris dan Amerika Serikat enggan mengambil risiko
untuk menerbitkan buku-bukunya. Saat ini sangat sulit mendapatkan buku-buku terjemahan
berbahasa Inggris atas karya-karyanya. Namun, hal itu akan segera berubah
setelah ia menerima penghargaan Nobel Sastra tahun 2015. Alexievich, “Selamat
atas berdiri kokohnya monomen untuk penderitaan dan keberanian” yang telah kamu
bangun.
0 komentar:
Posting Komentar