Selasa, 19 Juli 2016

Tak Semudah Membalikkan Telapak Tangan menjadi Mahasiswa



Mendengar kata “Mahasiswa” image menor nan indah terbayang di kepalaku. Membayangkan mahasiswa adalah persekongkolan manusia kelas elit, borjuis, manusia dengan otak cerdik dan memiliki segalanya termasuk jas almamater yang begitu menggoda itu. Akupun begitu nafsu untuk berstatus mahasiswa, bayangan yang terus membuntutiku ketika kelas dua Madrasah Aliyah di salah satu Pondok Pesantren Daerah Sumenep Madura.

Dimulai dari keambiguanku yang sebenarnya wajib memilih antara melanjutkan mondok dan kuliah. Waktu itu sempat aku korek-korek informasi tentang beberapa pesantren di dalam dan luar Madura, Annuqayyah dan Sidogiri salah satunya. Tidak hanya satu-dua bulan waktu yang dibutuhkan untuk survey pesantren tersebut, tiga tahun dari awal masuk kelas satu MA bahkan. Karena atmosfer religius, hangat, kental bin gawat di pesantrenku, laksana mewajibkan kelas akhir untuk mondok di pesantren lain. “Boleh sih kuliah, tapi yang ada pesantrennya, atau boleh kuliah tapi tinggalnya harus di pesantren.” Ujar salah satu pengasuhku.


Tibalah di penghujung pengembaraan, kelas tiga MA waktu itu, ketika masa-masa Ujian Nasional. “Kamu mau mondok di mana?” kata omku yang kebetulan juga bergelar ustaz di pesantren tersebut. “belum tahu om, jadi bingung nih antara mondok dan kuliah” jawabku lirih. Makin ambigu ketika teman-teman angkatan sudah nemu pesantren untuk prospek selanjutnya. Sampai Ujian Nasional kelar, aku juga belum memutuskan mau kemana. Akhirnya omku itu yang menyarankan untuk kuliah saja. “teman-temanmu sudah banyak yang melanjutkan mondok di pesantren, tak apalah kamu kuliah saja, biar ngga jadi kiai semua.” Akhirnya aku manut saja, meskipun keputusan itu belum final dalam batinku.

Mulailah saya korek-korek informasi, di webside atau menilpon teman alumni yang sudah kuliah. Akhirnya aku menilpon salah satu alumni angkatan 2008 Darul Ihsan yang melanjutkan studi akademiknya di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Maghfur MR punya nama. Banyak mendapat petuah-petuah magis darinya, sayapun key in mendaftar tes dibantu omku. Dengan mendaftar online dengan pembayaran via rekening akhirnya aku menjatuhkan pilihan jurusan sastra inggris di UIN-SUKA, akupun ikut om Idris yang juga kuliah disana. Sempat ikut Bimtes (bimbingan tes) yang diadakan oleh PMII, bulan puasa pula, satu minggu dengan tesnya, saya pun pulang dengan jiwa berseri karena melihat keindahan dan kemegahan kampus UIN yang tak lapuk dimakan jarak kepulangan ke madura, tinggal menunggu kabar kelulusan, akupun pamer pengalaman di kampung.

Hari pelulusan tiba, aku ngeceknya di warnet, tak ada debar yang begitu memuncak, karena kupikir mudah melenggang ke UIN laiknya kampus di Madura, tinggal daftar, bayar, lulus, dan kuliah. Ternyata yang punya otoritas akan semesta ini berkata lain “saya tidak lulus”. Galau sih iya, bahkan sempat mau terjun bebas dari lantai 5 hotel berbintang (masak di kampungku ada hotel, bercanda... bercanda...). Galau pun kian menyusup, dari pori-pori, tulang, hingga uluh hati. Sang penyabar datang (si omku). “kamu tetap harus ke Yogya, tinggal dengan Maghfur di pesantren sana, belajar menulis, dan tahun depan daftar lagi” ujarnya sambil mengelus-elus kepalaku yang kebetulan ngga ada rambutnya itu. “iya om, semoga takdir dan pembikin takdir, memberi kesempatan untuk aku kuliah.”

Setengah tahun berproses di Pesantren Hasyim Asy’ari Yogykarta, dengan tantangan begitu bertaring, karena rata-rata teman saya sudah mahasiswa, dengan pribadi kharismatik itu. Akhirnya aku dikasih info tentang beasiswa bidikmisi program Kemenristek Indonesia, mulailah saya coba-coba siapa saja tembus, kuliah tanpa keluar duit sepersen pun, dikasih uang jajan pula. Saya mendaftar di tiga perguruan tinggi, UNY, UIN, dan UMY. Kampus yang terakhir ini agak nyeleneh karena basisnya Ormas Muhammadiyah, di kampungku ormas ini diberedel, bahkan stusnya disamakan dengan non muslim. Setahun mengikuti kriteria, dan persyaratan bidikmisi, akhirnya saya lulus, tapi bukan di UIN, bukan di UNY tapi di UMY, dengan jurusan yang sembarang kupilih, karena jurusan sastra benar-benar tidak ada di sana. Sudahlah ujarku, yang penting kuliah, yang penting gratis, ingin cepat-cepat memakai jas almamater.

Respon baik dan buruk akhirnya bermunculan, dan yang paling nyinyir dari beberapa ustazku, yang begitu anti terhadap ormas Muhammadiyah, “santai aja nak, ada om dibelakangmu, kamu belajar aja yang rajin, serap segala ilmu, termasuk dari orang non muslim sekalipun, biarkan anjing menggonggong kafilah terus berlalu.” Mendapat khotbah jum’at itu, saya pun bangkit dan membusungkan dada berusaha mengembalikan semangat yang telah lama remuk redam itu. “iya om, saya berangkat pamit kuliah di Yogya, doakan agar aku sukses.”

Proses beasiswa bidikmisi rumit pisan, ada seleksi berkaslah, wawancaralah, bahkan yang paling purna adalah visit home, pihak kampus mengunjungi ke rumah calon penerima bidikmisi. Akupun kena, ada rombongan bermobil datang siang-siang, aku masih ingat lima hari setelah lebaran mereka datang. Persiapan misterius dilakukan, dengan membriefing keluargaku agar tidak menjawab serampangan pertanyaan tukang survey itu, termasuk dengan memindahkan beberapa alat elektronik rumah, lengkap dengan sangkar burung love birth takut-takut barang itu yang membikin aku tidak lulus. Barang yang disinyalir mewah terpaksa disingkirkan sejenak, termasuk anjuran untuk keluargaku tidak memakai pakain bagus. Wihh... dramatis kali ya..

Ahh... ternyata pertanyaan-pertanyaan si tukang survey itu tidak segawat yang dibayangkan, ternyata datar-datar saja, cuma tentang perekonomian keluarga, pendapatan keluarga, tentang rumah, bahkan tentang listrik setiap bulannya. Sudah disiapkan kelapa muda untuk menyogok tukang survey itu, bahkan kelapa-kelapa itu menjebloskanku masuk universitas. Terima kasih emakku, terima kasih omku, terima kasih ustazku, terima kasih tukang survey. Alhamdulillah aku bisa pakai jas alamamter merah, dengan KTM yang sekarang menghiasi dompetku setiap saat...

19 Juli 2016.


Share:

0 komentar:

Copyright © LAJANG KEMBARA | Powered by Blogger
Design by SimpleWpThemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com