Mendengar kata “Mahasiswa” image menor nan indah terbayang di
kepalaku. Membayangkan mahasiswa adalah persekongkolan manusia kelas elit, borjuis,
manusia dengan otak cerdik dan memiliki segalanya termasuk jas almamater yang
begitu menggoda itu. Akupun begitu nafsu untuk berstatus mahasiswa, bayangan
yang terus membuntutiku ketika kelas dua Madrasah Aliyah di salah satu Pondok
Pesantren Daerah Sumenep Madura.
Dimulai dari keambiguanku yang
sebenarnya wajib memilih antara melanjutkan mondok dan kuliah. Waktu itu sempat
aku korek-korek informasi tentang beberapa pesantren di dalam dan luar Madura, Annuqayyah
dan Sidogiri salah satunya. Tidak hanya satu-dua bulan waktu yang dibutuhkan
untuk survey pesantren tersebut, tiga
tahun dari awal masuk kelas satu MA bahkan. Karena atmosfer religius, hangat, kental
bin gawat di pesantrenku, laksana mewajibkan kelas akhir untuk mondok di pesantren
lain. “Boleh sih kuliah, tapi yang ada pesantrennya, atau boleh kuliah tapi
tinggalnya harus di pesantren.” Ujar salah satu pengasuhku.
Tibalah di penghujung pengembaraan,
kelas tiga MA waktu itu, ketika masa-masa Ujian Nasional. “Kamu mau mondok di
mana?” kata omku yang kebetulan juga bergelar ustaz di pesantren tersebut.
“belum tahu om, jadi bingung nih antara mondok dan kuliah” jawabku lirih. Makin
ambigu ketika teman-teman angkatan sudah nemu pesantren untuk prospek selanjutnya.
Sampai Ujian Nasional kelar, aku juga belum memutuskan mau kemana. Akhirnya omku
itu yang menyarankan untuk kuliah saja. “teman-temanmu sudah banyak yang
melanjutkan mondok di pesantren, tak apalah kamu kuliah saja, biar ngga jadi kiai semua.” Akhirnya aku
manut saja, meskipun keputusan itu belum final dalam batinku.
Mulailah saya korek-korek
informasi, di webside atau menilpon
teman alumni yang sudah kuliah. Akhirnya aku menilpon salah satu alumni
angkatan 2008 Darul Ihsan yang melanjutkan studi akademiknya di UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, Maghfur MR punya nama. Banyak mendapat petuah-petuah magis
darinya, sayapun key in mendaftar tes
dibantu omku. Dengan mendaftar online
dengan pembayaran via rekening akhirnya aku menjatuhkan pilihan jurusan sastra
inggris di UIN-SUKA, akupun ikut om Idris yang juga kuliah disana. Sempat ikut
Bimtes (bimbingan tes) yang diadakan oleh PMII, bulan puasa pula, satu minggu
dengan tesnya, saya pun pulang dengan jiwa berseri karena melihat keindahan dan
kemegahan kampus UIN yang tak lapuk dimakan jarak kepulangan ke madura, tinggal
menunggu kabar kelulusan, akupun pamer pengalaman di kampung.
Hari pelulusan tiba, aku ngeceknya
di warnet, tak ada debar yang begitu memuncak, karena kupikir mudah melenggang
ke UIN laiknya kampus di Madura, tinggal daftar, bayar, lulus, dan kuliah.
Ternyata yang punya otoritas akan semesta ini berkata lain “saya tidak lulus”.
Galau sih iya, bahkan sempat mau terjun bebas dari lantai 5 hotel berbintang
(masak di kampungku ada hotel, bercanda... bercanda...). Galau pun kian
menyusup, dari pori-pori, tulang, hingga uluh hati. Sang penyabar datang (si
omku). “kamu tetap harus ke Yogya, tinggal dengan Maghfur di pesantren sana,
belajar menulis, dan tahun depan daftar lagi” ujarnya sambil mengelus-elus
kepalaku yang kebetulan ngga ada rambutnya itu. “iya om, semoga takdir dan pembikin
takdir, memberi kesempatan untuk aku kuliah.”
Setengah tahun berproses di
Pesantren Hasyim Asy’ari Yogykarta, dengan tantangan begitu bertaring, karena
rata-rata teman saya sudah mahasiswa, dengan pribadi kharismatik itu. Akhirnya aku
dikasih info tentang beasiswa bidikmisi program Kemenristek Indonesia, mulailah
saya coba-coba siapa saja tembus, kuliah tanpa keluar duit sepersen pun,
dikasih uang jajan pula. Saya mendaftar di tiga perguruan tinggi, UNY, UIN, dan
UMY. Kampus yang terakhir ini agak nyeleneh karena basisnya Ormas Muhammadiyah,
di kampungku ormas ini diberedel, bahkan stusnya disamakan dengan non muslim. Setahun
mengikuti kriteria, dan persyaratan bidikmisi, akhirnya saya lulus, tapi bukan
di UIN, bukan di UNY tapi di UMY, dengan jurusan yang sembarang kupilih, karena
jurusan sastra benar-benar tidak ada di sana. Sudahlah ujarku, yang penting
kuliah, yang penting gratis, ingin cepat-cepat memakai jas almamater.
Respon baik dan buruk akhirnya
bermunculan, dan yang paling nyinyir
dari beberapa ustazku, yang begitu anti terhadap ormas Muhammadiyah, “santai
aja nak, ada om dibelakangmu, kamu belajar aja yang rajin, serap segala ilmu,
termasuk dari orang non muslim sekalipun, biarkan anjing menggonggong kafilah
terus berlalu.” Mendapat khotbah jum’at itu, saya pun bangkit dan membusungkan
dada berusaha mengembalikan semangat yang telah lama remuk redam itu. “iya om,
saya berangkat pamit kuliah di Yogya, doakan agar aku sukses.”
Proses beasiswa bidikmisi rumit pisan, ada seleksi berkaslah, wawancaralah,
bahkan yang paling purna adalah visit
home, pihak kampus mengunjungi ke rumah calon penerima bidikmisi. Akupun
kena, ada rombongan bermobil datang siang-siang, aku masih ingat lima hari
setelah lebaran mereka datang. Persiapan misterius dilakukan, dengan membriefing
keluargaku agar tidak menjawab serampangan pertanyaan tukang survey itu, termasuk dengan memindahkan
beberapa alat elektronik rumah, lengkap dengan sangkar burung love birth takut-takut barang itu yang
membikin aku tidak lulus. Barang yang disinyalir mewah terpaksa disingkirkan
sejenak, termasuk anjuran untuk keluargaku tidak memakai pakain bagus. Wihh... dramatis kali ya..
Ahh...
ternyata pertanyaan-pertanyaan si
tukang survey itu tidak segawat yang dibayangkan, ternyata datar-datar saja, cuma
tentang perekonomian keluarga, pendapatan keluarga, tentang rumah, bahkan
tentang listrik setiap bulannya. Sudah disiapkan kelapa muda untuk menyogok
tukang survey itu, bahkan
kelapa-kelapa itu menjebloskanku masuk universitas. Terima kasih emakku, terima
kasih omku, terima kasih ustazku, terima kasih tukang survey. Alhamdulillah aku
bisa pakai jas alamamter merah, dengan KTM yang sekarang menghiasi dompetku
setiap saat...
19
Juli 2016.
0 komentar:
Posting Komentar