“Aku
berpikir setengah mati untuk menemukan kata-kata yang cukup hitam untuk
menggambarkan kegelapan itu, suatu kata yang sedemikian pedih kehitamannya
hingga dapat melukai mulutku bila kuucapkan.”
Kutipan kalimat di atas diambil
dari novel Hunger, Sult, (Lapar)
karya Knut Hamsun yang sempat menggemparkan publik Norwegia bahkan dunia.
Betapa tidak, novel yang
semi-autobiografi itu berkisah tetang seorang penulis muda yang maha miskin dan
selalu kelaparan. Setiap hari dia menggelandang di jalanan kota Christiania
(Ibu Kota Norwegia) karena tidak mampu bayar sewa kamar dan membeli makanan.
Namun, kesengkarutan hidupnya itu tidak membikin dia lupa bahwa dia seorang
penulis, yang tentu saja hanya bisa bertahan hidup dengan menulis apa saja;
artikel, cerita, dan puisi.
Knut Hamsun, dengan rasa lapar
yang teramat sangat itu ternyata tak sanggup mengikis nalurinya sebagai
penulis. Dia tidak mencegah dirinya sendiri untuk terus mengamati sekeliling.
Imajinasinya jalan terus, hingga dalam keadaan yang sangat tidak nyaman pun dia
mampu secara alamiah mengambil jarak dan menafsirkan realitas yang menghampiri
indera dan pikirannya. Sehingga ketegaran dan keuletannya itu dia ilustrasikan
ke dalam tokoh pemuda maha miskin novelnya yang sangat fenominal itu.
Novel yang sarat dengan ketajaman
persepsi, deskripsi psikis, dan alur cerita yang “meneror” pembaca dengan
kenikmatan literer yang membuai. Setidaknya menjadi gambaran awal “bahwa
seorang pengarang juga mempunyai hubungan darah dengan kelaparan”. Karena
kedekatan mereka sudah terlanjur erat dan sulit untuk dipisahkan.
Lapar yang arti dasar adalah
“berasa ingin makan karena perut kosong”. Atau dalam ilmu biologi ialah kondisi
dimana sistem organ tubuh mulai kekurangan suplai energi dan unsur-unsur yang
terkandung dalam makanan. Sehingga siapa pun dalam kondisi seperti itu,
simpul-simpul saraf akan menyampaikan kepada otak bahwa sistem organ tubuh
mulai berjalan lemah, kemudian memberi reaksi yang salah satunya kita rasakan
misal ada bunyi “aneh” dari perut yang kosong. Kemudian bagi beberapa orang
dengan kondisi tertentu lapar bisa memunculkan pusing, konsentrasi mulai
terganggu, penglihatan merabun, kalau sudah mulai parah beberapa sistem
kemudian beristirahat alias kita pingsan.
Namun dalam konteks yang berbeda
“lapar” juga dapat membuat kita lebih berkonsentrasi, lebih fokus, dan lebih
memusatkan pikiran atau imajinasi untuk suatu hal yang kita renungkan. Semisal
merenungkan arti sebuah kehidupan atau merenungkan suatu hal untuk mencipta
maha karya laiknya Knut Hamsun. Kita tidak dapat pungkiri itu.
Pun juga ada nilai eksentrik dalam
keterhubungan orang lapar dengan orang sedang puasa, atau “lapar” dengan
“puasa”. Maka anjuran “makanlah sebelum lapar, dan berhentilah sebelum kenyang”
juga berbanding lurus dengan “menulislah sebelum ingin, dan jangan berhenti
sebelum bisa”. Karena dalam konteks ini, bukan Cuma anjuran yang bersifat
teknis tapi ada makna implisit yaitu mengenai pengendalian diri, anjuran itu
adalah supaya kita bisa belajar mengetahui kondisi kebutuhan tubuh. Manusia itu
memiliki unsur jasmani dan rohani. Dengan senantiasa mengendalikan kondisi
rohani, akal dapat digunakan dengan jernih kemudian bisa dengan tepat memahami
sinyal lapar yang diterima otak apakah sebuah kebutuhan atau keinginan. Contoh
sederhanya ketika melihat makanan enak langsung lapar dan ingin melahapnya.
Atau kita sedang menemukan ide bagus dan sesegera mungkin ingin menuliskannya.
Tapi sejatinya lapar bisa diartikan sebagai alat proyeksi dan seleksi, apakah
makan dan menulis itu termasuk kebutuhan atau hanya keinginan.
Maka ketika Ibrahim bin Adham bersyair, kita bisa renungkan
dan bisa menyeleksi diri kita sendiri: Kulihat
lapar mengalahkan godaan roti nan lezat/Dan rayuan sungai Eufrat yang mengalir
bening/ Kulihat lapar mendorong orang untuk tidur berbaring/Rasulullah dan para
shahabat adalah orang-orang yang senang.
Atau ketika Ali bin Abi Thalib mengisahkan, “suatu hari aku
masuk ke rumah Rasulullah SAW, dan kulihat beliau sedang bertelungkup di atas
tikar sambil menyembunyikan wajah, tubuhnya terlihat lemas karena menahan
lapar. Ketika itu Rasulullah berdoa; “dengan
lapar dan dahagaku, ampunilah ummatku atas dosa-dosa mereka.”
Jadi “lapar” atau “orang yang
melaparkan diri” memiliki predikat seorang pejuang yang sedang melakukan
perang, berjuang melawan nafsu dan berjuang untuk menakhlukkan diri sendiri
untuk kesempurnaan hasil.
Dan ihwal luar biasa ini yang
dilakukan Knut Hamsun untuk mencapai kesempurnaan hasil. Tapi apakah dengan
membaca novel Hunger, Sult, (Lapar)
seorang akan takut jadi penulis? Sama sekali tidak. Eka Kurniawan, penulis muda
Indonesia, justru yakin untuk jadi penulis setelah membaca novel ini. Lalu,
Knut Hamsun, penulis novel ini sekaligus orang yang merasakan lapar
berhari-hari karena memutuskan menjadi penulis, sama sekali tidak berhenti
menulis. Akhir dari novel ini memang tidak bahagia, tapi dalam kehidupan nyata,
percayalah, Knut Hamsun merasakan akhir bahagia. Novel-novelnya terjual hingga
dua juta eksemplar, menjadi kaya raya karena itu, dan mendapatkan hadiah nobel
kesusastraan di tahun 1920.
0 komentar:
Posting Komentar