Persetujuan dengan Bung Karno
Ayo ! Bung Karno kasi tangan
mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan
bicaramu
Dipanggang di atas apimu,
digarami lautmu
Dari mulai tanggal. 17 Agustus
1945
Aku melangkah ke depan berada
rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang
laut
Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal
kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal
kita bertolak dan berlabuh
Chairil Anwar (1946)
Pada awal kemerdekaan Indonesia semangat nasionalisme begitu
tinggi menyengat publik. Penyair besar
kelahiran Medan yang juga merupakan kemenakan Perdana Menteri Sutan Syahrir,
Chairil Anwar, mencatat suasana zaman dengan salah satu sajaknya yang
legendaris yang isinya seruan agar merapat dukungan kepada pemimpin bangsa saat
itu. Perpecahan, kekacauan dapat dientaskan oleh sebuah sajak Chairil.
Sepelintir sajak Chairil Anwar yang membakar jiwa itu,
menggambarkan betapa puisi semenjak dahulu adalah pengingat atau masinis bagi
kekuasaan. Karya sastra ini kadang memberikan pujian, berkeluh kesah,
menyentil, tapi juga kadang “galak” pada kekuasaan.
Dan, memang bila di ungkit dari khazanah kesusastraan dunia,
termasuk Indonesia, puisi selalu memainkan peranan penting terhadap dunia
politik-kekuasaan. Pada zaman jahiliyah, sebelum Nabi Muhammad SAW lahir,
misalnya, penulisan puisi sekaligus pembacaannya telah dipanggungkan dalam
sebuah festival yang begitu menguras emosi publik. Efek euforia kepada puisi
ini terus terbawa sampai saat Rasulullah menyampaikan risalahnya. Puisi dan
penyair mendapat perhatian penting, atau mejadi sorotan publik. Bahkan dalam
Al-Quran pada surat yang menyoal
mengenai puisi (syair-Red).
Tadisi perpuisian itu terus mengekor
dan mengalami perkembangan baik sampai saat ini, karena kecendrungan puisi
sangat kontekstual terhadap persoalan-persoalan kehidupan, atau lebih
runcingnya pada “gerak-gerik” kekuasaan. Bahkan dalam hal puisi acap kali
menjadi alat legitimasi seseorang terhadap kekuasaan, dan ikhwal tersebut
banyak ditemui dalam sajak-sajak Mr Muhammad Yamin, Chairil Anwar, WS Rendra,
Taufik Ismail, Wiji Thukul, dan lainnya.
Maka budayawan Radhar Panca Dahana
juga membenarkan ekspansi perkembangan puisi dalam dunia politik: “puisi kini
memang benar-benar dipakai sebagai alat untuk mengomunikasikan pesan kepada
pihak lain. Dan celaknya, yang sekarang muncul
bukan penggunaan puisi dalam kategori baik, puisi tidak lagi
(diperjuangkan) untuk memberikan pesan atas sebuah kebenaran ideologi, tapi
lebih karena adanya kepentingan kekuasaan”.
Dari prahara tersebut, nilai
keluhuran sastra banyak yang dijungkirbalikkan. Padahal, semenjak dahulu
penempatan puisi itu hal yang mulia. Namun karena ulah manusia yang tidak
bertanggung jawab, puisi ditempatkan pada ruang gelap dan membunuh nilai-nilai
keluhuran sastra.
Komentar Din Syamsuddin mengenai
puisi dan politik, juga berbanding lurus dengan gejala sastra mutakhir. Ia
tidak habis pikir mengapa tiba-tiba media puisi menjadi alat kampanye,
disamping media seni hiburan lainya yang selama ini lazim digunakan, musik dangdut
dan pop, misalnya. Ia menambahkan: puisi sekarang sudah benar-benar berada di
tengah-tengah politik, dan tidak bisa dibayangkan masa depan sastra utamanya
puisi.
Sehingga Taufik Ismail merespon
situasi politik saat ini dengan sebuah puisinya;
Di Republik Rakyat Cina
koruptor dipenggal
Di Saudi Arabia koruptor dipotong tangannya
Di Indonesia koruptor dipotong masa
tahanannya…
Padahal kalau bertilas pada suasana
pemilu tahun 1955, saat itu pemilu Indonesia sangat dihormati dunia, karena
disebut sebagai pemilu yang bersih dan jujur. Tidak pernah ada perkelahian,
tusuk-tusukkan, tembak-tembakan, dan berbagai jenis kebrutalan lainnya, juga
tidak ada. Dan pengalaman yang tak pernah bisa dilupakan penyair Taufik Ismail
ketika bertandang ke Amerika, ia mendapat pujian karena pemilu Indonesia.
Disebutkannya bahwa; Negara yang baru baru sepuluh tahun merdeka, etnisnya
beragam, bisa menyelenggarakan pemilu dengan baik. Ini sungguh prestasi
membanggakan, dan sekarang sudah tidak ada.
Dari sekelumit prahara yang
mencedrai politik dan sastra Indonesia. Selaiknya kita bergandeng tangan untuk
memperbaiki, menumbuhkan, dan meluruskannya kembali. Puisi merupakan kalbu atau
nurani dari kekuasaan, puisi adalah ruh kekuasaan, Kita harus mempercayai apa
yang dikatakan Jhon F Kennedy: “bila politik kotor, puisi yang
membersihkannya”.
0 komentar:
Posting Komentar