Rabu, 13 Juli 2016

Ketika Puisi Berpolitik



Persetujuan dengan Bung Karno

Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
Dipanggang di atas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tanggal. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut

Bung  Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak dan berlabuh
                                                                                   
Chairil Anwar (1946)

   
        
Pada awal kemerdekaan Indonesia semangat nasionalisme begitu tinggi menyengat  publik. Penyair besar kelahiran Medan yang juga merupakan kemenakan Perdana Menteri Sutan Syahrir, Chairil Anwar, mencatat suasana zaman dengan salah satu sajaknya yang legendaris yang isinya seruan agar merapat dukungan kepada pemimpin bangsa saat itu. Perpecahan, kekacauan dapat dientaskan oleh sebuah sajak Chairil.

Sepelintir sajak Chairil Anwar yang membakar jiwa itu, menggambarkan betapa puisi semenjak dahulu adalah pengingat atau masinis bagi kekuasaan. Karya sastra ini kadang memberikan pujian, berkeluh kesah, menyentil, tapi juga kadang “galak” pada kekuasaan.

Dan, memang bila di ungkit dari khazanah kesusastraan dunia, termasuk Indonesia, puisi selalu memainkan peranan penting terhadap dunia politik-kekuasaan. Pada zaman jahiliyah, sebelum Nabi Muhammad SAW lahir, misalnya, penulisan puisi sekaligus pembacaannya telah dipanggungkan dalam sebuah festival yang begitu menguras emosi publik. Efek euforia kepada puisi ini terus terbawa sampai saat Rasulullah menyampaikan risalahnya. Puisi dan penyair mendapat perhatian penting, atau mejadi sorotan publik. Bahkan dalam Al-Quran  pada surat yang menyoal mengenai puisi (syair-Red).
           
            Tadisi perpuisian itu terus mengekor dan mengalami perkembangan baik sampai saat ini, karena kecendrungan puisi sangat kontekstual terhadap persoalan-persoalan kehidupan, atau lebih runcingnya pada “gerak-gerik” kekuasaan. Bahkan dalam hal puisi acap kali menjadi alat legitimasi seseorang terhadap kekuasaan, dan ikhwal tersebut banyak ditemui dalam sajak-sajak Mr Muhammad Yamin, Chairil Anwar, WS Rendra, Taufik Ismail, Wiji Thukul, dan lainnya.

            Maka budayawan Radhar Panca Dahana juga membenarkan ekspansi perkembangan puisi dalam dunia politik: “puisi kini memang benar-benar dipakai sebagai alat untuk mengomunikasikan pesan kepada pihak lain. Dan celaknya, yang sekarang muncul  bukan penggunaan puisi dalam kategori baik, puisi tidak lagi (diperjuangkan) untuk memberikan pesan atas sebuah kebenaran ideologi, tapi lebih karena adanya kepentingan kekuasaan”.

            Dari prahara tersebut, nilai keluhuran sastra banyak yang dijungkirbalikkan. Padahal, semenjak dahulu penempatan puisi itu hal yang mulia. Namun karena ulah manusia yang tidak bertanggung jawab, puisi ditempatkan pada ruang gelap dan membunuh nilai-nilai keluhuran sastra.

            Komentar Din Syamsuddin mengenai puisi dan politik, juga berbanding lurus dengan gejala sastra mutakhir. Ia tidak habis pikir mengapa tiba-tiba media puisi menjadi alat kampanye, disamping media seni hiburan lainya yang selama ini lazim digunakan, musik dangdut dan pop, misalnya. Ia menambahkan: puisi sekarang sudah benar-benar berada di tengah-tengah politik, dan tidak bisa dibayangkan masa depan sastra utamanya puisi.

            Sehingga Taufik Ismail merespon situasi politik saat ini dengan sebuah puisinya;         
Di Republik Rakyat Cina koruptor dipenggal
                        Di Saudi Arabia koruptor dipotong tangannya
                        Di Indonesia koruptor dipotong masa tahanannya…

            Padahal kalau bertilas pada suasana pemilu tahun 1955, saat itu pemilu Indonesia sangat dihormati dunia, karena disebut sebagai pemilu yang bersih dan jujur. Tidak pernah ada perkelahian, tusuk-tusukkan, tembak-tembakan, dan berbagai jenis kebrutalan lainnya, juga tidak ada. Dan pengalaman yang tak pernah bisa dilupakan penyair Taufik Ismail ketika bertandang ke Amerika, ia mendapat pujian karena pemilu Indonesia. Disebutkannya bahwa; Negara yang baru baru sepuluh tahun merdeka, etnisnya beragam, bisa menyelenggarakan pemilu dengan baik. Ini sungguh prestasi membanggakan, dan sekarang sudah tidak ada.
           
            Dari sekelumit prahara yang mencedrai politik dan sastra Indonesia. Selaiknya kita bergandeng tangan untuk memperbaiki, menumbuhkan, dan meluruskannya kembali. Puisi merupakan kalbu atau nurani dari kekuasaan, puisi adalah ruh kekuasaan, Kita harus mempercayai apa yang dikatakan Jhon F Kennedy: “bila politik kotor, puisi yang membersihkannya”.














Share:

0 komentar:

Copyright © LAJANG KEMBARA | Powered by Blogger
Design by SimpleWpThemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com