Rabu, 13 Juli 2016

Kartini dan Euforia Buku



Hari Kartini jatuh pada tanggal 21 April, diperingati dengan berbagai lakon nan simbolik, dalam rangka menghormati hari kelahiran Raden Adjeng Kartini dan segala perjuangannya. Ini menjadi hari bersejarah bagi kaum perempuan Indonesia, karena Kartini sosok teladan perempuan yang didaulat paling berjasa menjunjung tinggi hak-hak perempuan. Adalah ibu bangsa, ibu Emansipasi, ibu buku, dan ibu penulis dialamatkan padanya.

Kartini lahir pada kalender 21 April 1879, atau dalam almanak Jawa 28 Rabiulakhir 1808 di Jepara, Jawa Tengah. Berasal dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa, dan merupakan putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang patih yang diangkat menjadi bupati Jepara. Dan ibunya bernama M.A. Ngasirah seorang guru agama di Telukawur Jepara.

Kartini, anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri ini bukanlah orang terdidik formal, ia hanya enam tahun mengenyam pendidikan di ELS (Europese Lagere School). Padahal ia ingin melanjutkan Sekolah Menengah Atas (Hogere Burger School) di  Surabaya Pusat, tapi akhirnya kandas di tengah jalan karena ia dipingit tujuh tahun di Kadipaten. Tapi pengalaman singkat singgah di bangku sekolah, memembuatnya bisa belajar Bahasa Belanda dan menulis surat untuk sahabat-sahabat korespondensi di Belanda (Netherlands).

Selain memperjuangkan emansipasi perempuan, Kartini juga layak dipanggil “ibu penulis”. Banyak karya-karya monumental lahir dari semangatnya dalam memberontak sosio-politik yang berkembang saat itu. Seperti; Het buwelijk bij de Kodjas (Upacara Perkawinan pada Suku Koja), De Batikkunst in Indie en baar Geschiedenis (Kesenian Batik Hindia Belanda dan Sejarahnya), dan yang kondang  Door Duisternis Tot Licht (Habis Kegelapan Menuju Cahaya) 1911, dibukukan oleh sahabat Kartini Mr. J.H. Abendanon. Kemudian Balai Pustaka menerbitkannya dengan bahasa Melayu (Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran) 1922. dan 1938 keluarlah Habis Gelap Terbitlah Terang versi Armijn Pane.

Surat-surat Kartini juga diterjemahkan oleh beberapa orang dari dalam dan luar negeri. Seperti Sulastin Sutrisno dengan tulisannya Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya, gubahan Joost Cote Letters from Kartini, An Indonesian Feminis 1900-1904, atau apresiasi Pramoedya Ananta Toer atas pemikiran Kartini dari bukunya Panggil Aku Kartini Saja (1962).

“Kartini adalah ibu buku”. Kalimat ini juga mafhum di telinga kita, ia memang penggila dan kutu buku, sosok yang betah berlama-lama memelototi huruf-perhuruf, kata-perkata, kalimat-perkalimat. Pengembaraan intelektualnya dimulai ketika ia banyak membaca koran dan majalah. Seperti koran De Locomotief Semarang, paket majalah Lesstrommel, koran terkenal Maatschappelijk werk in Indie, De Gids, dan majalah wanita Belanda De Hollandsche Leile. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hoolandsche Lelie.

Sebelum umur dua puluh tahun, Kartini juga telah melahap buku Max Havelaar dan Surat-surat Cinta karya Multatuli (1901), memamah buku De Stille Kraacht (kekuatan gaib) karya Louis Coperus, dan buku-buku bermutu tinggi karya Van Eeden, Augusta de Witt, roman feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek, roman anti perang karangan Berta Von Suttner. Dari bacaan-bacaan itulah Kartini mengenal Revolusi Perancis, roman-roman Eropa, gerakan perempuan Eropa, hingga gegap-gempita sosial politik Eropa.

Melihat gelagat dan semangat Kartini, ia tak hanya ibu emansipasi perempuan yang bergelung dan berkebaya, tapi juga ibu penulis dan ibu buku. Meminjam bahasa Muhidin M Dahlan, Kartini adalah ibu epistolari (ibu dalam tradisi bersurat) dan ibu penulis buku.

Semangat kartini untuk membaca-menulis inilah yang juga diharapkan menjangkiti penikmat buku secara nasional dan global, karena di bulan yang sama (April) adalah hari kampanye buku dan hak cipta internasional yang jatuh pada tanggal 23 April.

Alkisah, hari buku internasional adalah bagian penting dari perayaan Hari Saint George (pria memberikan mawar pada kekasihnya) di Katalonia sejak abad pertengahan. Namun sejak tahun 1923 para pedagang buku memengaruhi tradisi ini untuk menghormati Miguel de Cervantes, seorang pengarang yang meninggal dunia pada 23 April. Maka perayaan di tanggal tersebut diganti dengan hari buku internasional. Hingga tahun 1925 para perempuan memberikan sebuah buku sebagai pengganti mawar yang diterimanya, pada masa itu lebih dari 400.000 buku terjual dan ditukarkan dengan 4 juta mawar.

Iktikad baik itu ditanggapi serius orang Badan PBB untuk pendidikan. Pada tahun 1995, Konferensi Umum UNESCO di Paris memutuskan tanggal 23 April sebagai World Book Day and Copyright Day (Hari Buku dan Hak Cipta Internasional). Berdasarkan eksistensi festival Katalonia serta pada tanggal tersebut, Shakespeare, Caervantes, Inca Garcilaso de la Vega dan Josep Pla meninggal dunia. Sedangkan Maurice Druon, Vladimir Nabokov, Manuel Mejia Vallejo and Halldor Laxness dilahirkan.

Kampanye buku diperingati secara serentak di belahan dunia, setiap negara memiliki cara sendiri dalam merayakannya. Di Brazil misalkan; berbagai toko buku berkampanye mengenai kesusastraan untuk anak-anak, sedangkan di Mexico mengadakan ritual unik pembacaan buku di depan publik selama 12 jam berturu-turut, Swedia menyelenggarakan kontes buku terbaik yang dipilih, sedangkan Indonesia baru ikut andil dalam euforia buku pada tahun 2006, yang didukung oleh berbagai pihak, baik pemerintah, akademisi, dan masyarakat umum.

Dalam nuansa debar dan isak mengingat kegigihan Kartini tanggal 21 April, dan dalam nuansa sumringah menapaktilasi ketangguhan penulis Miguel de Cervantes pada tanggal 23 April, duo momentum ini laksana dua sisi mata uang, sama sisi saling mengisi dan berkontribusi. Selamat hari Kartini dan Hari Buku Internasional








Share:

Copyright © LAJANG KEMBARA | Powered by Blogger
Design by SimpleWpThemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com