Hari Kartini jatuh pada tanggal 21 April, diperingati dengan
berbagai lakon nan simbolik, dalam rangka menghormati hari kelahiran Raden
Adjeng Kartini dan segala perjuangannya. Ini menjadi hari bersejarah bagi kaum
perempuan Indonesia, karena Kartini sosok teladan perempuan yang didaulat
paling berjasa menjunjung tinggi hak-hak perempuan. Adalah ibu bangsa, ibu
Emansipasi, ibu buku, dan ibu penulis dialamatkan padanya.
Kartini lahir pada kalender 21 April 1879, atau dalam
almanak Jawa 28 Rabiulakhir 1808 di Jepara, Jawa Tengah. Berasal dari kalangan priyayi
atau kelas bangsawan Jawa, dan merupakan putri Raden Mas Adipati Ario
Sosroningrat, seorang patih yang diangkat menjadi bupati Jepara. Dan ibunya
bernama M.A. Ngasirah seorang guru agama di Telukawur Jepara.
Kartini, anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri ini
bukanlah orang terdidik formal, ia hanya enam tahun mengenyam pendidikan di ELS
(Europese Lagere School). Padahal ia ingin melanjutkan Sekolah Menengah
Atas (Hogere Burger School)
di Surabaya Pusat, tapi
akhirnya kandas di tengah jalan karena ia dipingit tujuh tahun di Kadipaten.
Tapi pengalaman singkat singgah di bangku sekolah, memembuatnya bisa belajar
Bahasa Belanda dan menulis surat untuk sahabat-sahabat korespondensi di Belanda
(Netherlands).
Selain memperjuangkan emansipasi perempuan, Kartini juga
layak dipanggil “ibu penulis”. Banyak karya-karya monumental lahir dari
semangatnya dalam memberontak sosio-politik yang berkembang saat itu. Seperti; Het buwelijk bij de Kodjas (Upacara Perkawinan
pada Suku Koja), De Batikkunst in Indie en baar Geschiedenis (Kesenian Batik
Hindia Belanda dan Sejarahnya), dan yang kondang Door Duisternis Tot Licht (Habis Kegelapan Menuju Cahaya) 1911,
dibukukan oleh sahabat Kartini Mr. J.H. Abendanon. Kemudian Balai Pustaka
menerbitkannya dengan bahasa Melayu (Habis
Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran) 1922. dan 1938 keluarlah Habis Gelap Terbitlah Terang versi
Armijn Pane.
Surat-surat Kartini juga diterjemahkan oleh beberapa orang
dari dalam dan luar negeri. Seperti Sulastin Sutrisno dengan tulisannya Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan
Untuk Bangsanya, gubahan Joost Cote
Letters from Kartini, An Indonesian Feminis 1900-1904, atau apresiasi
Pramoedya Ananta Toer atas pemikiran Kartini dari bukunya Panggil Aku Kartini Saja (1962).
“Kartini adalah ibu buku”. Kalimat ini juga mafhum di
telinga kita, ia memang penggila dan kutu buku, sosok yang betah berlama-lama
memelototi huruf-perhuruf, kata-perkata, kalimat-perkalimat. Pengembaraan
intelektualnya dimulai ketika ia banyak membaca koran dan majalah. Seperti
koran De Locomotief Semarang, paket majalah Lesstrommel, koran terkenal Maatschappelijk
werk in Indie, De Gids, dan majalah wanita Belanda De Hollandsche Leile. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan
tulisannya dan dimuat di De Hoolandsche
Lelie.
Sebelum umur dua puluh tahun, Kartini juga telah melahap
buku Max Havelaar dan Surat-surat Cinta karya Multatuli
(1901), memamah buku De Stille Kraacht (kekuatan
gaib) karya Louis Coperus, dan buku-buku bermutu tinggi karya Van Eeden,
Augusta de Witt, roman feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek, roman
anti perang karangan Berta Von Suttner. Dari bacaan-bacaan itulah Kartini
mengenal Revolusi Perancis, roman-roman Eropa, gerakan perempuan Eropa, hingga
gegap-gempita sosial politik Eropa.
Melihat gelagat dan semangat Kartini, ia tak hanya ibu
emansipasi perempuan yang bergelung dan berkebaya, tapi juga ibu penulis dan
ibu buku. Meminjam bahasa Muhidin M Dahlan, Kartini adalah ibu epistolari (ibu
dalam tradisi bersurat) dan ibu penulis buku.
Semangat kartini untuk membaca-menulis inilah yang juga
diharapkan menjangkiti penikmat buku secara nasional dan global, karena di
bulan yang sama (April) adalah hari kampanye buku dan hak cipta internasional
yang jatuh pada tanggal 23 April.
Alkisah, hari buku internasional adalah bagian penting dari
perayaan Hari Saint George (pria memberikan mawar pada kekasihnya) di Katalonia
sejak abad pertengahan. Namun sejak tahun 1923 para pedagang buku memengaruhi
tradisi ini untuk menghormati Miguel de Cervantes, seorang pengarang yang
meninggal dunia pada 23 April. Maka perayaan di tanggal tersebut diganti dengan
hari buku internasional. Hingga tahun 1925 para perempuan memberikan sebuah
buku sebagai pengganti mawar yang diterimanya, pada masa itu lebih dari 400.000
buku terjual dan ditukarkan dengan 4 juta mawar.
Iktikad baik itu ditanggapi serius orang Badan PBB untuk
pendidikan. Pada tahun 1995, Konferensi Umum UNESCO di Paris memutuskan tanggal
23 April sebagai World Book Day and
Copyright Day (Hari Buku dan Hak Cipta Internasional). Berdasarkan
eksistensi festival Katalonia serta pada tanggal tersebut, Shakespeare,
Caervantes, Inca Garcilaso de la Vega dan Josep Pla meninggal dunia. Sedangkan
Maurice Druon, Vladimir Nabokov, Manuel Mejia Vallejo and Halldor Laxness
dilahirkan.
Kampanye buku diperingati secara serentak di belahan dunia,
setiap negara memiliki cara sendiri dalam merayakannya. Di Brazil misalkan;
berbagai toko buku berkampanye mengenai kesusastraan untuk anak-anak, sedangkan
di Mexico mengadakan ritual unik pembacaan buku di depan publik selama 12 jam
berturu-turut, Swedia menyelenggarakan kontes buku terbaik yang dipilih,
sedangkan Indonesia baru ikut andil dalam euforia buku pada tahun 2006, yang didukung
oleh berbagai pihak, baik pemerintah, akademisi, dan masyarakat umum.
Dalam nuansa debar dan isak mengingat kegigihan Kartini
tanggal 21 April, dan dalam nuansa sumringah menapaktilasi ketangguhan penulis
Miguel de Cervantes pada tanggal 23 April, duo
momentum ini laksana dua sisi mata uang, sama sisi saling mengisi dan
berkontribusi. Selamat hari Kartini dan Hari Buku Internasional