Dalam khazanah kesusastraan
Indonesia, kita pasti mengenal nama sastrawan seperti Chairil
Anwar, Idrus, Pramoedya Ananta Toer, Umar Kayam, W.S. Rendra, Y.B.
Mangunwijaya, atau Gunawan Muhammad dan
Sapardi Djoko Damono. Mereka adalah pelaku sastra Indonesia yang berjuang untuk mempromosikan budaya dan
karya Indonesia di mata dunia. Namun usaha mereka tidak semulus yang dibayangkan,
secara galib karya mereka hanya dikonsumsi oleh kalangan akademis atau
universitas yang (kebetulan) memiliki program kajian bahasa dan sastra
Indonesia, ketimbang di publik yang lebih luas.
Dalam sejumlah hal, penyebabnya bukan sastra Indonesia tidak
menarik, tapi kesastraan Indonesia sedang berada di sebuah terra in cognita (ruang gelap yang tak diketahui dan tidak
dikenal), ia terasing dan tidak menemukan jalan dan pintu untuk bertatapan dengan dunia luas sehingga
tindak tanduknya tidak terendus masyarakat dunia, belum lagi himpitan teks
sastra asing yang begitu menggoda dan lebih menarik, sehingga mengucilkan
peredaran teks sastra Indonesia yang sangat langka, dan belum diterjemah ke
dalam bahasa Internasional itu. Ia hanya dibaca dikalangan terbatas dunia
akademik saja, ia juga sulit dikenali oleh masyarakatnya sendiri. Apa lagi
sikap pemerintah yang tidak mau mengenalkan kebudayaan nusantara dan karya
sastra Indonesia ke panggung dunia.
Di lain sisi, terdapat juga yang melatari mengapa sastra
Indonesia di mata dunia sering terbaca sebagai perkambangan yang parsial,
karena sastra Indonesia adalah sebuah terra
in cognita, maka ketika ada sedikit cahaya penerang sastra Indonesia
langsung mendapat tempat dalam pergaulan sastra dunia, seraya ia mengandaikan
dengan cahaya penerang itulah sastra
Indonesia bisa nampak. Padahal ini karena “akses”, cahaya penerang itu akses
yang menjadi kunci untuk masuk dalam pergaulan sastra dunia dengan melakukan
lobi-lobi canggih ke berbagai jaringan asing dengan isu-isu yang bisa “dijual”
(dari mulai hak asasi manusia, pluralisme, hingga demokratisasi). Maka, yang
terjadi kemudian adalah pemahaman mata dunia terhadap sastra Indonesia yang
yang tak pernah lengkap sebab hanya berasal dari satu sumber yang mendomenasi
akses.
Maka dengan perenungan dalam seminar sastra Jakarta
Internasional Literature Festival (Jilfest) 12 Desember 2008 lalu, bisa menjadi
rujukan semangat untuk mengasah kemampuan, bahan evaluasi kesusastraan
Indonesia di panggung dunia. Seminar yang diselenggarakan Dinas kebudayaan DKI
ini diikuti sastrawan dan pengamat sastra dari Indonesia, Belanda, Swedia,
Singapua, Portugal, RRC, dan Korea. Seminar sastra internasional itu
diselenggarakan untuk membicarakan sastra Indonesia, serta bagaimana nasib
karya sastra Indonesia. Seminar yang menghadirkan pangamat sastra asing itu
memunculkan sentimen-sentimen positif, seperti yang diutarakan Djamal Tukimin,
M.A. (Singapura) mupun Prof. Dr. Koh Young Hun (Korea) menilai karya sastra Indonesia
memiliki perluang besar diterima publik sastra di negara mereka dan Negara
lainnya. Termasuk prospek penerbitan kasrya sastrawan muda Indonesia, seperti
yang terjadi di Singapura dengan sambutan yang hangat pada novel Ayat-ayat
Cinta (Habbiburrahman Shirazi) dan Laskar Pelangi (Andrea Hirata). Karena
sastrawan Indonesia memiliki peluang untuk go
Internasional, salah satu alasannya karena satrawan Indonesia memiliki
sikap terbuka pada berbagai pemikiran seni, dan ini berbeda dengan sastrawan
Melayu yang agak feodal.
Kenyataannya, sastra Indonesia di mata dunia seolah hadir
tanpa referensi yang utuh, baik pengenalan (promosi) ihwal tradisi
perkembangannya, terlebih lagi tentang kebudayaan Indonesia itu sendiri.
Berbeda dengan pengenalan seni pertunjukan tradisi Indonesia yang selalu
diboyong pemerintah ke berbagai event di dunia internasional, pemerintah
terkesan tidak memandang karya sastra sebagai aset yang perlu dipromosikan.
Mata dunia bisa dengan jelas mengenal
berbagai seni tradisi pertunjukan Indonesia, bahkan makanannya, tetapi tidak
tentang karya sastranya.
Ketidak tahuan masyarakat Internasional pada sastra Indonesi
inilah yang dengan sedih diceritakan cerpenis dan novelis Putu Wijaya, ketika
di Berlin seorang penyair kulit hitam Amerika Serikat bertanya kepadanya,
“apakah di Indonesia ada penyair?”.
Putu Wijaya juga menuturkan pengalamannya yang lain ketika
seorang penerbit di Berlin tertarik menerbitkan cerpen-cerpennya. Akan tetapi,
penerbit itu mengatakan agar Putu jangan berharap terlalu banyak bahawa karya
akan disambut masyarakat di Jerman. “beberapa karya Pramoedya dan Mangunwijaya
sudah diterjemahkan ke bahasa Jerman, tetapi di pasar tidak bunyi, itu tidak
disebabkan karya-karya mereka tidak menarik, tetapi karena masyarakat Jerman
tidak memiliki referensi lengkap bahwa di Indonesia ada kehidupan sastra,” ujar
Putu Wijaya.
Dengan mencerna kondisi kesusastraan
Indonesia, perlu kiranya kita bergandeng tangan untuk mempromosikan budaya dan
karya sastra Indonesia ke mata dunia, budaya dan sastra Indonesia bukan tidak
menarik tapi letak kekeliruannya berada pada kita yang tidak mau mengenalkan
karya cipta nusantara ke mata dunia.
0 komentar:
Posting Komentar