Selasa, 05 Juli 2016

Sastra Indonesia dan Predikat In Cognita



Dalam khazanah kesusastraan Indonesia, kita pasti mengenal nama sastrawan seperti Chairil Anwar, Idrus, Pramoedya Ananta Toer, Umar Kayam, W.S. Rendra, Y.B. Mangunwijaya, atau  Gunawan Muhammad dan Sapardi Djoko Damono. Mereka adalah pelaku sastra Indonesia  yang berjuang untuk mempromosikan budaya dan karya Indonesia di mata dunia. Namun usaha mereka tidak semulus yang dibayangkan, secara galib karya mereka hanya dikonsumsi oleh kalangan akademis atau universitas yang (kebetulan) memiliki program kajian bahasa dan sastra Indonesia, ketimbang di publik yang lebih luas.


Dalam sejumlah hal, penyebabnya bukan sastra Indonesia tidak menarik, tapi kesastraan Indonesia sedang berada di sebuah terra in cognita (ruang gelap yang tak diketahui dan tidak dikenal), ia terasing dan tidak menemukan jalan dan pintu  untuk bertatapan dengan dunia luas sehingga tindak tanduknya tidak terendus masyarakat dunia, belum lagi himpitan teks sastra asing yang begitu menggoda dan lebih menarik, sehingga mengucilkan peredaran teks sastra Indonesia yang sangat langka, dan belum diterjemah ke dalam bahasa Internasional itu. Ia hanya dibaca dikalangan terbatas dunia akademik saja, ia juga sulit dikenali oleh masyarakatnya sendiri. Apa lagi sikap pemerintah yang tidak mau mengenalkan kebudayaan nusantara dan karya sastra Indonesia ke panggung dunia.

Di lain sisi, terdapat juga yang melatari mengapa sastra Indonesia di mata dunia sering terbaca sebagai perkambangan yang parsial, karena sastra Indonesia adalah sebuah terra in cognita, maka ketika ada sedikit cahaya penerang sastra Indonesia langsung mendapat tempat dalam pergaulan sastra dunia, seraya ia mengandaikan dengan cahaya penerang itulah  sastra Indonesia bisa nampak. Padahal ini karena “akses”, cahaya penerang itu akses yang menjadi kunci untuk masuk dalam pergaulan sastra dunia dengan melakukan lobi-lobi canggih ke berbagai jaringan asing dengan isu-isu yang bisa “dijual” (dari mulai hak asasi manusia, pluralisme, hingga demokratisasi). Maka, yang terjadi kemudian adalah pemahaman mata dunia terhadap sastra Indonesia yang yang tak pernah lengkap sebab hanya berasal dari satu sumber yang mendomenasi akses.

Maka dengan perenungan dalam seminar sastra Jakarta Internasional Literature Festival (Jilfest) 12 Desember 2008 lalu, bisa menjadi rujukan semangat untuk mengasah kemampuan, bahan evaluasi kesusastraan Indonesia di panggung dunia. Seminar yang diselenggarakan Dinas kebudayaan DKI ini diikuti sastrawan dan pengamat sastra dari Indonesia, Belanda, Swedia, Singapua, Portugal, RRC, dan Korea. Seminar sastra internasional itu diselenggarakan untuk membicarakan sastra Indonesia, serta bagaimana nasib karya sastra Indonesia. Seminar yang menghadirkan pangamat sastra asing itu memunculkan sentimen-sentimen positif, seperti yang diutarakan Djamal Tukimin, M.A. (Singapura) mupun Prof. Dr. Koh Young Hun (Korea) menilai karya sastra Indonesia memiliki perluang besar diterima publik sastra di negara mereka dan Negara lainnya. Termasuk prospek penerbitan kasrya sastrawan muda Indonesia, seperti yang terjadi di Singapura dengan sambutan yang hangat pada novel Ayat-ayat Cinta (Habbiburrahman Shirazi) dan Laskar Pelangi (Andrea Hirata). Karena sastrawan Indonesia memiliki peluang untuk go Internasional, salah satu alasannya karena satrawan Indonesia memiliki sikap terbuka pada berbagai pemikiran seni, dan ini berbeda dengan sastrawan Melayu yang agak feodal.

Kenyataannya, sastra Indonesia di mata dunia seolah hadir tanpa referensi yang utuh, baik pengenalan (promosi) ihwal tradisi perkembangannya, terlebih lagi tentang kebudayaan Indonesia itu sendiri. Berbeda dengan pengenalan seni pertunjukan tradisi Indonesia yang selalu diboyong pemerintah ke berbagai event di dunia internasional, pemerintah terkesan tidak memandang karya sastra sebagai aset yang perlu dipromosikan. Mata dunia  bisa dengan jelas mengenal berbagai seni tradisi pertunjukan Indonesia, bahkan makanannya, tetapi tidak tentang karya sastranya.

Ketidak tahuan masyarakat Internasional pada sastra Indonesi inilah yang dengan sedih diceritakan cerpenis dan novelis Putu Wijaya, ketika di Berlin seorang penyair kulit hitam Amerika Serikat bertanya kepadanya, “apakah di Indonesia ada penyair?”.

Putu Wijaya juga menuturkan pengalamannya yang lain ketika seorang penerbit di Berlin tertarik menerbitkan cerpen-cerpennya. Akan tetapi, penerbit itu mengatakan agar Putu jangan berharap terlalu banyak bahawa karya akan disambut masyarakat di Jerman. “beberapa karya Pramoedya dan Mangunwijaya sudah diterjemahkan ke bahasa Jerman, tetapi di pasar tidak bunyi, itu tidak disebabkan karya-karya mereka tidak menarik, tetapi karena masyarakat Jerman tidak memiliki referensi lengkap bahwa di Indonesia ada kehidupan sastra,” ujar Putu Wijaya.

            Dengan mencerna kondisi kesusastraan Indonesia, perlu kiranya kita bergandeng tangan untuk mempromosikan budaya dan karya sastra Indonesia ke mata dunia, budaya dan sastra Indonesia bukan tidak menarik tapi letak kekeliruannya berada pada kita yang tidak mau mengenalkan karya cipta nusantara ke mata dunia.

Share:

0 komentar:

Copyright © LAJANG KEMBARA | Powered by Blogger
Design by SimpleWpThemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com