Rabu, 13 Juli 2016

Peluru Wiji Thukul Tetap Mematikan



“Hanya ada satu kata: lawan!”  Kalimat pendek itu diambil dari bait terakhir judul puisi Peringatan karya Wahyu Widodo atau panggilan hangat Wiji Thukul. Namun di balik kependekan kalimat itu tersimpan sengat racun yang mematikan, kalimat itu telah menjadi mantra dan kredo magis yang dari dulu hingga sekarang tetap disuarakan dan diperjuangkan. 


            Puisi yang diciptakan pada tahun 1986 itu menjadi bacaan wajib para aktivis di berbagai forum, baik dalam seminar-seminar di gedung tertutup maupun dalam orasi terbuka yang mengiringi aksi demonstrasi jutaan mahasiswa dan buruh. Karena sejak era 90-an, ketika rezim Orde baru yang otoriter mulai “menua” dan makin sensitif, puisi Peringatan terus menggema di mana-mana. 

            Puisi itu juga pernah dipekikkan pada demonstrasi ratusan orang di Balai kota Surakarta, pada suatu hari di tahun 1992, ketika memprotes penggusuran halaman Madrasah Mambaul Ulum Surakarta, ia juga menjadi pengiring aksi-aksi demonstrasi ribuan buruh tekstil di Solo dan beberapa kota di Jawa Tengah tahun 1993-1994.

Tidak mengherankan jika sosiolog Arief Budiman menyebut, “Wiji Thukul itu wajahnya lebih merupakan seorang pedagang asongan yang berkali-kali kena gusur. Atau buruh pabrik yang sering di-PHK, yang hidupnya selalu rawan pangan. Tapi, kata-katanya seperti peluru tajam.”

Tetap Mematikan

            Bahkan hingga kini, saat rezim sudah berganti-ganti, kalimat “hanya ada satu kata, lawan!” masih tetap didengungkan mengiringi berbagai aksi-aksi di jalanan, ide dan cita-citanya masih terus hidup disuarakan lewat mulut-mulut manusia yang kian banyak membaca sajak-sajak miliknya, kalimat itu juga diteriakkan oleh para aktivis yang saat puisi itu dibuat, tapi mereka belum lahir. Bahkan sketsa gambar wajahnya pun telah menjadi simbol perlawanan terhadap segala bentuk ketidakadilan para penguasa yang menyengsarakaan rakyatnya.

            Dalam surat puisi Wiji Thukul yang dibuat untuk ulang tahun ke-90 Sosiolog ternama Belanda yang punya perhatian besar bagi emansipasi rakyat Indonesia, WF Wertheim pada November 1997, Dia menegaskan posisinya dengan berkata; waktu mataku ditendang tentara dalam pemogokan buruh/dalam hati aku bilang mereka lebih ganas dari serigala/waktu aku jadi buronan politik karena bergabung dengan Partai Rakyat Demoktratik/namaku diumumkan di Koran/rumahku digrebek, biniku diteror, diintrogasi, diintimidasi, anakku 4 tahun melihatnya!/ masihka kau membutuhkan perumpamaan untuk mengatakan: AKU TIDAK MERDEKA.

Begitulah puisi Wiji Thukul yang telah menjelma menjadi peluru yang tetap mematikan sampai kapan pun, karena Wiji Thukul bukan menulis puisi untuk menjadi penyair. Baginya, menulis puisi seperti orang yang sedang menceritakan pengalaman hidup. Dan benar apa yang katakana Arief Budiman “dalam puisinya, dia jadi ingin bercerita, berteriak, supaya didengar. Lalu dia menulis puisi. Dia menulis puisi bukan untuk mejadi penyair, tapi dia menjadi penyair karena menulis puisi.”

Kita sadari itu, puisi Wiji Thukul sudah begitu dekat dengan kehidupan kita, ia telah mendarah daging dengan tubuh kita. Betapa tidak Wiji Thukul menulis puisi dengan mengambil rekam jejak kehidupannya yang sangat tidak mengenakkan, dia menulis tentang bapaknya yang tukang becak, teman-temannya yang buruh plitur, orang-orang yang tergusur tanah mereka, masa kanak-kanaknya yang miskin, dan pengalaman-pengalaman lain yang dijalaninya dengan intensitas yang tinggi.

Dia seolah ingin orang berteriak ketika mendengarkan puisi-puisinya dibacakan, karena merasa ketidakadilan yang menimpa Wiji Thukul juga merupakan ketidakadilan yang dialami para pendendang dan pendengar puisinya. Ia sangat bahagia kalau orang lain juga meresakan hal yang sama dengan yang dia rasakan.

Sebegitu bahayakah seorang Wiji Thukul yang bersenjatakan kata-kata sehingga dia harus dikejar-kejar, bahkan dilenyapkan? Tak ada orang yang bisa menjawab dengan tuntas pertanyaan tersebut. Bahkan berkat karya magisnya itu pada 1997-1998 ia menjadi salah satu korban dari 13 orang yang diculik para aktivis yang sampai saat ini keberadaannya tidak diketahui. Bahkan istri Wiji Thukul Siti Dyah (Mba Sipon), dan dua anknya Fitri Nganti dan Fajar Merah. Juga tidak tahu akan keberadaannya saat ini.

Dia mungkin sudah ditelan Momok Hiyong, Hantu yang fasis dan ganas sebagaimana ia gambar-gambarkan dalam satu puisi yang tulisnya pada 30 September 1996. Momok hiyong/ momok hiyong/ berapa ember lagi/darah yang akan kau mimum?

Namun yang terpenting kita dapat mencuri semangat perjuangannya dan menghidupkannya dalam dunia kita, mempelajari gagasannya, dan menuntaskan perjuangannya. Indonesia yang dia cita-citakan belumlah terwujud, bangsa ini masih terbelenggu oleh ekonomi politik gaya baru imperialisme-neoliberal. Yang kaya semakin kaya, yang miskin tambah miskin, anak sulit mengakses pendidikan layak, kesehatan tidak berkualitas, tidak ada lapangan pekerjaan, dan masih banyak misteri yang Wiji Thukul belum ungkap.

Kendati secara fisik Wiji Thukul tidak lagi hadir, peringatannya lewat puisi Peringatan tak pernah hilang dari ingatan sejarah. Bahwa Ia seperti peluru yang terus melesat, melintasi zaman dan generasi, seperti yang dia kehendaki, “Aku Ingi Jadi Peluru.”



Share:

0 komentar:

Copyright © LAJANG KEMBARA | Powered by Blogger
Design by SimpleWpThemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com