“Hanya
ada satu kata: lawan!” Kalimat pendek
itu diambil dari bait terakhir judul puisi Peringatan
karya Wahyu Widodo atau panggilan hangat Wiji Thukul. Namun di balik kependekan
kalimat itu tersimpan sengat racun yang mematikan, kalimat itu telah menjadi
mantra dan kredo magis yang dari dulu hingga sekarang tetap disuarakan dan
diperjuangkan.
Puisi yang diciptakan pada tahun
1986 itu menjadi bacaan wajib para aktivis di berbagai forum, baik dalam
seminar-seminar di gedung tertutup maupun dalam orasi terbuka yang mengiringi
aksi demonstrasi jutaan mahasiswa dan buruh. Karena sejak era 90-an, ketika
rezim Orde baru yang otoriter mulai “menua” dan makin sensitif, puisi Peringatan terus menggema di
mana-mana.
Puisi itu juga pernah dipekikkan
pada demonstrasi ratusan orang di Balai kota Surakarta, pada suatu hari di
tahun 1992, ketika memprotes penggusuran halaman Madrasah Mambaul Ulum
Surakarta, ia juga menjadi pengiring aksi-aksi demonstrasi ribuan buruh tekstil
di Solo dan beberapa kota di Jawa Tengah tahun 1993-1994.
Tidak mengherankan jika sosiolog Arief Budiman menyebut,
“Wiji Thukul itu wajahnya lebih merupakan seorang pedagang asongan yang
berkali-kali kena gusur. Atau buruh pabrik yang sering di-PHK, yang hidupnya
selalu rawan pangan. Tapi, kata-katanya seperti peluru tajam.”
Tetap Mematikan
Bahkan hingga kini, saat rezim
sudah berganti-ganti, kalimat “hanya ada satu kata, lawan!” masih tetap
didengungkan mengiringi berbagai aksi-aksi di jalanan, ide dan cita-citanya
masih terus hidup disuarakan lewat mulut-mulut manusia yang kian banyak membaca
sajak-sajak miliknya, kalimat itu juga diteriakkan oleh para aktivis yang saat
puisi itu dibuat, tapi mereka belum lahir. Bahkan sketsa gambar wajahnya pun telah
menjadi simbol perlawanan terhadap segala bentuk ketidakadilan para penguasa
yang menyengsarakaan rakyatnya.
Dalam surat puisi Wiji Thukul yang
dibuat untuk ulang tahun ke-90 Sosiolog ternama Belanda yang punya perhatian
besar bagi emansipasi rakyat Indonesia, WF Wertheim pada November 1997, Dia
menegaskan posisinya dengan berkata; waktu
mataku ditendang tentara dalam pemogokan buruh/dalam hati aku bilang mereka
lebih ganas dari serigala/waktu aku jadi buronan politik karena bergabung
dengan Partai Rakyat Demoktratik/namaku diumumkan di Koran/rumahku digrebek,
biniku diteror, diintrogasi, diintimidasi, anakku 4 tahun melihatnya!/ masihka
kau membutuhkan perumpamaan untuk mengatakan: AKU TIDAK MERDEKA.
Begitulah puisi Wiji Thukul yang telah menjelma menjadi
peluru yang tetap mematikan sampai kapan pun, karena Wiji Thukul bukan menulis
puisi untuk menjadi penyair. Baginya, menulis puisi seperti orang yang sedang
menceritakan pengalaman hidup. Dan benar apa yang katakana Arief Budiman “dalam
puisinya, dia jadi ingin bercerita, berteriak, supaya didengar. Lalu dia
menulis puisi. Dia menulis puisi bukan untuk mejadi penyair, tapi dia menjadi
penyair karena menulis puisi.”
Kita sadari itu, puisi Wiji Thukul sudah begitu dekat dengan
kehidupan kita, ia telah mendarah daging dengan tubuh kita. Betapa tidak Wiji
Thukul menulis puisi dengan mengambil rekam jejak kehidupannya yang sangat
tidak mengenakkan, dia menulis tentang bapaknya yang tukang becak,
teman-temannya yang buruh plitur, orang-orang yang tergusur tanah mereka, masa
kanak-kanaknya yang miskin, dan pengalaman-pengalaman lain yang dijalaninya
dengan intensitas yang tinggi.
Dia seolah ingin orang berteriak ketika mendengarkan
puisi-puisinya dibacakan, karena merasa ketidakadilan yang menimpa Wiji Thukul
juga merupakan ketidakadilan yang dialami para pendendang dan pendengar
puisinya. Ia sangat bahagia kalau orang lain juga meresakan hal yang sama
dengan yang dia rasakan.
Sebegitu bahayakah seorang Wiji Thukul yang bersenjatakan
kata-kata sehingga dia harus dikejar-kejar, bahkan dilenyapkan? Tak ada orang
yang bisa menjawab dengan tuntas pertanyaan tersebut. Bahkan berkat karya
magisnya itu pada 1997-1998 ia menjadi salah satu korban dari 13 orang yang
diculik para aktivis yang sampai saat ini keberadaannya tidak diketahui. Bahkan
istri Wiji Thukul Siti Dyah (Mba Sipon), dan dua anknya Fitri Nganti dan Fajar
Merah. Juga tidak tahu akan keberadaannya saat ini.
Dia mungkin sudah ditelan Momok Hiyong, Hantu yang fasis dan ganas sebagaimana ia
gambar-gambarkan dalam satu puisi yang tulisnya pada 30 September 1996. Momok hiyong/ momok hiyong/ berapa ember
lagi/darah yang akan kau mimum?
Namun yang terpenting kita dapat mencuri semangat
perjuangannya dan menghidupkannya dalam dunia kita, mempelajari gagasannya, dan
menuntaskan perjuangannya. Indonesia yang dia cita-citakan belumlah terwujud,
bangsa ini masih terbelenggu oleh ekonomi politik gaya baru
imperialisme-neoliberal. Yang kaya semakin kaya, yang miskin tambah miskin,
anak sulit mengakses pendidikan layak, kesehatan tidak berkualitas, tidak ada
lapangan pekerjaan, dan masih banyak misteri yang Wiji Thukul belum ungkap.
Kendati secara fisik Wiji Thukul tidak lagi hadir,
peringatannya lewat puisi Peringatan tak
pernah hilang dari ingatan sejarah. Bahwa Ia seperti peluru yang terus melesat,
melintasi zaman dan generasi, seperti yang dia kehendaki, “Aku Ingi Jadi
Peluru.”
0 komentar:
Posting Komentar