Rabu, 13 Juli 2016

Pena dan Jarum Suntik



“Dunia adalah sebuah buku, dan mereka yang terus berdiam di rumahnya hanya akan tamat satu halaman saja.”

Mungkin, rangkai kalimat di atas yang tumbuh di kepala Taufiq Agung Prayogo, bocah kelahiran kerawang yang kuliah kedokteran di Universitas Indonesia (UI). Ia pun mengembara ke tempat jauh untuk mencari pena, dan meninggalkan jarum suntik di kampusnya.


Pengembaraan Taufiq dimulai dari Stasiun kereta api Jakarta Kota. Dengan  lokomotif Bogowonto ia sampai di Stasiun Lempungan Yogyakarta pagi-pagi. Tak ada kerabat, tak ada sahabat, hanya selembar kertas yang isinya sebaris alamat; “Pesantren menulis PPM. Hasyim Asy’ari, Jl. KH Ali Maksum, Dusun Krappyak Kulon Sewon Bantul”.

Tiba di alamat yang dimaksud, kenyataan bicara lain, pesantren itu telah tiada, dan pindah ke Jl. Parangtritis KM 7,5 Dusun Cabean Sewon Bantul. Ia pun memburu alamat itu, yang didapat dari seorang warga yang kebetulan lewat depan rumah kontrakan bekas pesantren. Sungguh malang nasibmu bung!!

Tiba di alamat itu. Rumah joglo berdinding kayu telah menanti, dengan lambai rumput liar di berandanya  menambah tensi kebingungan Taufiq. Nah, saya sendiri dan sebagian santri menyambut Taufiq pagi itu. Dengan jas almamater warna kuning yang masih melekat di tubuhnya, ia berucap; Assalamualaikum, benarkah ini Pesantren Menulis PPM. Hasyim Asy’ari? “Waalaikumsalam, iya benar mas!. Jawabku, sembari mempersilahkan masuk.

Setelah kami panjang lebar intermeso, melontarlah sebuah kalimat dari mulutnya; “saya datang kesini, mau belajar menulis mas, saya ngambil cuti kuliah untuk mencari  pena ajaib untuk menulis”.

Kisah di atas adalah kisah inspiratif, yang dinukil dari kisah faktual beberapa bulan lalu di Pesantren Hasyim Asy’ari. Menurut saya, kisah ini tergolong unik dan sedikit menggelikan, karena dari kisah melodramatik yang ada, hanya kali ini saja pesantren kami kedatangan seorang yang sering memegang jarum suntik, calon dokter, dan anak profesor. Ia rela meninggalkan kemapanan hidupnya, hanya untuk belajar menulis. Lebih aneh lagi, ia tak direstui mukim di pesantren kami, oleh orang tuanya, dosennya, bahkan pacarnya.

Tapi, kalau saya cermati memang ada hubungan simetris antara pena dan jarum suntik. Banyak sekali ditemukan orang dari background kedokteran ujung-ujungnya nyastra. Sehingga ihwal ini bisa menghapus anggapan kokoh selama ini, kalau jurusan sastra di universitas kelak akan melahirkan sastrawan. Sebaliknya, jurusan kedokteran akan menghasilkan dokter-dokter andal untuk menyuntik.

Misalkan di Indonesia; nama sastrawan kondang Taufiq Ismail banyak melahirkan karya-karya monumental, karyanya banyak dikagumi masyarakat, karena mampu menyihir pembaca untuk terus mengunyah racikan kata-kata dan kalimatnya. Banyak penghargaan disabetnya, salah satunya South East Asia Write Award dari kerajaan Thailand (1994), pengarang tamu di Dewan Bahasa Pustaka, Kuala Lumpur (1993), dan dua kali menjadi penyair tamu di Universitas Lowa, Amerika Serikat (1971-1991). Tapi siapa sangka ia adalah seorang dokter hewan, dan baginya, menjadi dokter akan dapat menafkahi cita-cita kesusastraannya sejak kecil itu. Ia mampu berdiri sejajar dengan sastrawan nir-dokter. Taufiq Ismail lulusan dari FKHP-UI Bogor pada tahun 1963.

Dan siapa yang tidak kenal novel Siti Nurbaya. Penulisnya adalah seorang dokter hewan sejati Marah Rusli. Ia merupakan seorang sastrawan yang juga bekerja aktif sebagai seorang dokter hewan. Beliau menulis novel Siti Nurbaya ketika bertugas di Indonesia Timur. Marah Rusli berpraktik sebagai dokter hewan selama 34 tahun di Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat, Semarang, dan lainnya.

Dari Timur Tengah, ada nama dokter Mustafa Mahmud Husain. Beliau tak hanya seorang dokter dan filsuf, tapi juga dikenal sebagai seorang sastrawan dan ulama. Banyak karya dilahirkannya; termasuk karya sastra masterpiace-nya dengan judul “lelaki di titik nol” yang mendapat penghargaan dari negara kelahirannya.

Entah apapun latar belakang seseorang, jika ia mampu menjaga eksistensi dan terus bereksperimen. Bukan tidak mungkin ia akan menjadi sastrwan andal, karyanya akan dikenang masyarakat, dan mampu menyisahkan efek candu untuk selalu mengulangi membaca dan membaca karyanya.

Kita tahu, sastrawan lahir dari latar apapun, Widji Tukul lahir dari latar aktivis kebangsaan, Joni Ariadinata lahir dari tukang becak dan kuli bangunan, Zainal Arifin Thoha lahir dari latar pesantren dan kiai, Jalaluddin Rumi lahir dari latar sufi dan ahli tasawwuf, dan saya yakini Taufiq Agung Prayogo akan menyusul  Marah Rusli dan Mustafa Mahmud Husain yang punya latar kedokteran.

Karena sebagai titik pijak awal pengembaraannya, terbukti “Seragam Batik” cerpen pertama Taufiq telah dimuat Minggu Pagi bulan oktober 2015, dua bulan berproses di pesantren kami. Kemudian setelah itu tulisannya juga dimuat di Radar Karawang, di Pilar Republik, dan terakhir di Minggu Pagi lagi. Padahal banyak diantara santri yang sudah mukim setahun lebih, tulisannya belum juga dimuat. Selamat bung!... tapi ingat pengembaraan belum selesai.







Share:

0 komentar:

Copyright © LAJANG KEMBARA | Powered by Blogger
Design by SimpleWpThemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com