“Dunia
adalah sebuah buku, dan mereka yang terus berdiam di rumahnya hanya akan tamat
satu halaman saja.”
Mungkin, rangkai kalimat di atas yang tumbuh di kepala
Taufiq Agung Prayogo, bocah kelahiran kerawang yang kuliah kedokteran di
Universitas Indonesia (UI). Ia pun mengembara ke tempat jauh untuk mencari
pena, dan meninggalkan jarum suntik di kampusnya.
Pengembaraan Taufiq dimulai dari Stasiun kereta api Jakarta
Kota. Dengan lokomotif Bogowonto ia
sampai di Stasiun Lempungan Yogyakarta pagi-pagi. Tak ada kerabat, tak ada
sahabat, hanya selembar kertas yang isinya sebaris alamat; “Pesantren menulis
PPM. Hasyim Asy’ari, Jl. KH Ali Maksum, Dusun Krappyak Kulon Sewon Bantul”.
Tiba di alamat yang dimaksud, kenyataan bicara lain,
pesantren itu telah tiada, dan pindah ke Jl. Parangtritis KM 7,5 Dusun Cabean
Sewon Bantul. Ia pun memburu alamat itu, yang didapat dari seorang warga yang
kebetulan lewat depan rumah kontrakan bekas pesantren. Sungguh malang nasibmu
bung!!
Tiba di alamat itu. Rumah joglo berdinding kayu telah
menanti, dengan lambai rumput liar di berandanya menambah tensi kebingungan Taufiq. Nah, saya
sendiri dan sebagian santri menyambut Taufiq pagi itu. Dengan jas almamater
warna kuning yang masih melekat di tubuhnya, ia berucap; Assalamualaikum,
benarkah ini Pesantren Menulis PPM. Hasyim Asy’ari? “Waalaikumsalam, iya benar
mas!. Jawabku, sembari mempersilahkan masuk.
Setelah kami panjang lebar intermeso, melontarlah sebuah
kalimat dari mulutnya; “saya datang kesini, mau belajar menulis mas, saya
ngambil cuti kuliah untuk mencari pena
ajaib untuk menulis”.
Kisah di atas adalah kisah inspiratif, yang dinukil dari kisah
faktual beberapa bulan lalu di Pesantren Hasyim Asy’ari. Menurut saya, kisah
ini tergolong unik dan sedikit menggelikan, karena dari kisah melodramatik yang
ada, hanya kali ini saja pesantren kami kedatangan seorang yang sering memegang
jarum suntik, calon dokter, dan anak profesor. Ia rela meninggalkan kemapanan
hidupnya, hanya untuk belajar menulis. Lebih aneh lagi, ia tak direstui mukim
di pesantren kami, oleh orang tuanya, dosennya, bahkan pacarnya.
Tapi, kalau saya cermati memang ada hubungan simetris antara
pena dan jarum suntik. Banyak sekali ditemukan orang dari background kedokteran ujung-ujungnya nyastra. Sehingga ihwal ini bisa menghapus anggapan kokoh selama
ini, kalau jurusan sastra di universitas kelak akan melahirkan sastrawan.
Sebaliknya, jurusan kedokteran akan menghasilkan dokter-dokter andal untuk
menyuntik.
Misalkan di Indonesia; nama sastrawan kondang Taufiq Ismail
banyak melahirkan karya-karya monumental, karyanya banyak dikagumi masyarakat,
karena mampu menyihir pembaca untuk terus mengunyah racikan kata-kata dan
kalimatnya. Banyak penghargaan disabetnya, salah satunya South East Asia Write Award dari kerajaan Thailand (1994),
pengarang tamu di Dewan Bahasa Pustaka, Kuala Lumpur (1993), dan dua kali
menjadi penyair tamu di Universitas Lowa, Amerika Serikat (1971-1991). Tapi
siapa sangka ia adalah seorang dokter hewan, dan baginya, menjadi dokter akan
dapat menafkahi cita-cita kesusastraannya sejak kecil itu. Ia mampu berdiri
sejajar dengan sastrawan nir-dokter. Taufiq Ismail lulusan dari FKHP-UI Bogor
pada tahun 1963.
Dan siapa yang tidak kenal novel Siti Nurbaya. Penulisnya adalah seorang dokter hewan sejati Marah
Rusli. Ia merupakan seorang sastrawan yang juga bekerja aktif sebagai seorang
dokter hewan. Beliau menulis novel Siti
Nurbaya ketika bertugas di Indonesia Timur. Marah Rusli berpraktik sebagai
dokter hewan selama 34 tahun di Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat, Semarang, dan
lainnya.
Dari Timur Tengah, ada nama dokter Mustafa Mahmud Husain.
Beliau tak hanya seorang dokter dan filsuf, tapi juga dikenal sebagai seorang
sastrawan dan ulama. Banyak karya dilahirkannya; termasuk karya sastra masterpiace-nya dengan judul “lelaki di titik nol” yang mendapat
penghargaan dari negara kelahirannya.
Entah apapun latar belakang seseorang, jika ia mampu menjaga
eksistensi dan terus bereksperimen. Bukan tidak mungkin ia akan menjadi
sastrwan andal, karyanya akan dikenang masyarakat, dan mampu menyisahkan efek
candu untuk selalu mengulangi membaca dan membaca karyanya.
Kita tahu, sastrawan lahir dari latar apapun, Widji Tukul
lahir dari latar aktivis kebangsaan, Joni Ariadinata lahir dari tukang becak
dan kuli bangunan, Zainal Arifin Thoha lahir dari latar pesantren dan kiai,
Jalaluddin Rumi lahir dari latar sufi dan ahli tasawwuf, dan saya yakini Taufiq
Agung Prayogo akan menyusul Marah Rusli
dan Mustafa Mahmud Husain yang punya latar kedokteran.
Karena sebagai titik pijak awal pengembaraannya, terbukti
“Seragam Batik” cerpen pertama Taufiq telah dimuat Minggu Pagi bulan oktober
2015, dua bulan berproses di pesantren kami. Kemudian setelah itu tulisannya
juga dimuat di Radar Karawang, di Pilar Republik, dan terakhir di Minggu Pagi
lagi. Padahal banyak diantara santri yang sudah mukim setahun lebih, tulisannya
belum juga dimuat. Selamat bung!... tapi ingat pengembaraan belum selesai.
0 komentar:
Posting Komentar