Rabu, 13 Juli 2016

Plagiator



Saya tak bisa bayangkan ekspresi wajah Marhalim Zaini, ketika membaca kiriman email dari seorang misterius, kiriman tulisan yang diduga hasil plagiat. Sastrawan kelahiran Teluk Pambang Bengkali Riau itu, sempat ngomel-ngomel dalam tulisannya yang dimuat di Riau Post tanggal 10 Januari 2016. Karena kiriman itu, sembilan puluh sembilan persen mirip dengan esai kawannya yang berstatus akademisi sastra.


Ekspresi wajah Prabal Gurung juga demikian, dalam pagelaran Jakarta Fashion Week 2015. Desainer Amerika berdarah Nepal itu bersungut-sungut ketika tahu rancangan busananya diplagiat orang. Di waktu yang sama, nama Priyo Oktaviano pun meledak, karena dia plagiatornya.

Kasus plagiarisme di muka bumi ini tak akan pernah punah. Kian mengakar erat, dan tak ubahnya sehelai rumput liar, meski dipotong, dicabuti, ia tetap akan tumbuh membandel.

Dalam dunia sastra pun tak kalah hebohnya, nama sekaliber Chairil Anwar pernah kesandung kasus plagiarisme. Si binatang jalang itu disinyalir menjiplak puisi-puisi Andre Gide pada tahun 1949. 

Chairil tak sendiri. Pada 1962, nama Hamka hampir tenggelam karena kasus plagirisme yang dituduhkan Lekra atas romannya Tenggelamnya Kapal Van Der Wyjk. Pram mengukuhkannya sebagai plagiator ketika menulis esai di koran Bintang Timur, dan mengumandangkan kalau roman itu diplagiasi dari Sous le Tilleuls karya Jean Baptiste Alphonser Karr.

Di luar negeri tak mau kalah; Novel pertama Kaavya Viswanathan How Opal Mehta Got Kissed, God Wild and God a Life, dilaporkan plagiat dari setidaknya 5 novel lain. Semua bukunya ditarik dari peredaran, kontraknya dengan little Brown, and Co. ditarik. Dan sebuah kontrak film dengan Dreamworks SKG juga dibatalkan.

Syahdan, masih banyak kasus plagiarisme yang tak mungkin dijabarkan disini. Dari kasus plagiarisme yang saya hadirkan,  ini merupakan sinyal agar kita selalu mawas diri dalam berkarya. Berhati-hati menjaga kemurnian ide yang sedari berkeliaran di kepala, selektif, siapa tahu sudah kepunyaan orang lain.

Menurut Webster’s World University Dictionary, plagiarisme disebut juga mengambil, mencuri, dan menjadikan ide dan kata-kata orang lain menjadi milik sendiri; menggunakan sesuatu yang sudah jadi tanpa menyebutkan sumbernya. Misalkan; menerbitkan karya orang lain atas nama dirinya sendiri.

Plagiarisme juga bisa disejajarkan dengan pencurian secara konvensional. Perbedaannya, kalau pencuri konvensional mencuri dengan ada keterlibatan fisik langsung, kalau plagiarisme tidak, ia mencuri dengan tanpa kontak fisik langsung, mencuri di internet/buku, secara sembunyi-sembunyi, dengan harapan tak ada siapapun yang mengendusnya. 

Kalau dilihat dari kecenderungannya, kasus plagiarisme yang paling banyak dikumandangkan ialah plagiarisme personal yang sifatnya teknis, mengambil sebagian atau seluruhnya tulisan tanpa menyebutkan sumber asli, dan mendakunya sebagai gagasan-karya sendiri.

Kemudian ada plagiarisme yang lebih struktural, dan bersifat massif. Yakni, “plagiarisme of authorship”, yaitu pencurian terang-terangan dan tinggal menempel nama pada suatu karya, laku pokok plagiator cuma mengganti nama penulis asli dengan yang baru. Tapi Brian Martin menyinggung ke arah berbeda; kalau plagiarisme ini mengarah pada modus operandi ghost writer dan speech writer. Sebuah praktik plagiarisme yang bisa dinisbatkan pada siapapun, pada seorang lurah, camat, bupati, gubernur, hingga presiden.

Mengapa Plagiat?

Plagiarisme tumbuh pada diri seseorang yang bermental malas, peragu, dan kemandulan intelektualnya. Penyakit ini akan menjangkiti siapapun, dimanapun, dan kapanpun. Jiwa plagiarisme itu bisa tumbuh dari hal yang remeh temeh. Misalkan; pada anak usia sekolah dasar, contek-menyontek di kelas ketika ulangan dianggap biasa. Maka mental malas belajar/pencuri itu akan dibawa kemanapun, termasuk ketika masuk ke jenjang lebih tinggi. Dan aplikasi nyata ketika ada tugas bahkan skripsi ia takkan sungkan untuk menjiplak, copy-paste.

Secara internal, banyak orang plagiat karena berangkat dari ketidaktahuan, gejala ini tumbuh subur dalam dunia akademik, banyak mahasiswa dan dosen yang tidak tahu cara mengutip kalimat orang, mengambil refrensi tanpa izin, tidak tahu cara menuliskan sumber tulisan, dan lainnya. Kedua, tidak percaya diri, terkadang ada seorang yang minder dengan tulisannya sendiri, sumringah melihat tulisan orang lain dan masam melihat tulisan sendiri. Dan yang ketiga, kebanyakan karena situasi terjepit, kadang dikejar deadline yang mau tak mau harus selesai sekarang, sehingga mereka mencari jalan instan dengan cara copot sana copot sini sebuah tulisan.

Sedangkan secara eksternal, karena kemudahan dan ketersediaannya search engine (seperti; google, yahoo, MSN, Alltheweb, dan Bing) untuk mengakses apapun, termasuk skripsi orang, novel, puisi, dan artikel, esai, dan lain-lain. Sang plagiator tinggal duduk manis di depan komputer, memindahkan refrensi yang dibutuhkan, dan tak lupa mencopot nama penulis asli dengan namanya sendiri.

Biarpun batin sang plagiator “semoga saja tak ada yang tahu”. Tapi mereka lupa, kalau masih ada publik yang ingin mengkritisi, membaca, dan menganalisa tulisannya. “sepintar-pintar orang menyimpan bangkai, pada akhirnya akan tercium”, begitupun dalam kasus plagiarisme.




Share:

0 komentar:

Copyright © LAJANG KEMBARA | Powered by Blogger
Design by SimpleWpThemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com