Saya tak bisa bayangkan ekspresi wajah Marhalim Zaini,
ketika membaca kiriman email dari seorang misterius, kiriman tulisan yang
diduga hasil plagiat. Sastrawan kelahiran Teluk Pambang Bengkali Riau itu,
sempat ngomel-ngomel dalam tulisannya
yang dimuat di Riau Post tanggal 10 Januari 2016. Karena kiriman itu, sembilan puluh sembilan persen mirip dengan esai kawannya
yang berstatus akademisi sastra.
Ekspresi wajah
Prabal Gurung juga demikian, dalam pagelaran Jakarta
Fashion Week 2015. Desainer Amerika berdarah Nepal itu
bersungut-sungut ketika tahu
rancangan busananya diplagiat orang. Di waktu yang sama, nama
Priyo Oktaviano pun meledak, karena dia plagiatornya.
Kasus plagiarisme di muka bumi ini tak akan pernah punah.
Kian mengakar erat, dan tak ubahnya sehelai rumput liar, meski dipotong,
dicabuti, ia tetap akan tumbuh membandel.
Dalam dunia sastra pun tak kalah hebohnya, nama sekaliber
Chairil Anwar pernah kesandung kasus plagiarisme. Si binatang jalang itu
disinyalir menjiplak puisi-puisi Andre Gide pada tahun 1949.
Chairil tak sendiri. Pada 1962, nama Hamka hampir tenggelam karena kasus
plagirisme yang dituduhkan Lekra atas romannya Tenggelamnya Kapal Van Der Wyjk. Pram mengukuhkannya sebagai
plagiator ketika menulis esai di
koran Bintang Timur, dan mengumandangkan kalau roman itu
diplagiasi dari Sous le Tilleuls karya
Jean Baptiste Alphonser Karr.
Di luar negeri tak mau kalah; Novel pertama Kaavya
Viswanathan How Opal Mehta Got Kissed,
God Wild and God a Life, dilaporkan plagiat dari setidaknya 5 novel lain.
Semua bukunya ditarik dari peredaran, kontraknya dengan little Brown, and Co.
ditarik. Dan sebuah kontrak film dengan Dreamworks SKG juga dibatalkan.
Syahdan, masih banyak kasus plagiarisme yang tak mungkin
dijabarkan disini. Dari kasus plagiarisme yang saya hadirkan, ini merupakan sinyal agar kita selalu mawas
diri dalam berkarya. Berhati-hati menjaga kemurnian ide yang sedari berkeliaran
di kepala, selektif, siapa tahu sudah kepunyaan orang lain.
Menurut Webster’s
World University Dictionary, plagiarisme disebut juga mengambil, mencuri,
dan menjadikan ide dan kata-kata orang lain menjadi milik sendiri; menggunakan
sesuatu yang sudah jadi tanpa menyebutkan sumbernya. Misalkan; menerbitkan
karya orang lain atas nama dirinya sendiri.
Plagiarisme juga bisa disejajarkan dengan pencurian secara
konvensional. Perbedaannya, kalau pencuri konvensional mencuri dengan ada
keterlibatan fisik langsung, kalau plagiarisme tidak, ia mencuri dengan tanpa
kontak fisik langsung, mencuri di internet/buku, secara sembunyi-sembunyi,
dengan harapan tak ada siapapun yang mengendusnya.
Kalau dilihat dari kecenderungannya, kasus plagiarisme yang
paling banyak dikumandangkan ialah plagiarisme personal yang sifatnya teknis,
mengambil sebagian atau seluruhnya tulisan tanpa menyebutkan sumber asli, dan
mendakunya sebagai gagasan-karya sendiri.
Kemudian ada plagiarisme yang lebih
struktural, dan bersifat massif. Yakni, “plagiarisme
of authorship”, yaitu pencurian terang-terangan dan tinggal menempel nama
pada suatu karya, laku pokok plagiator cuma mengganti nama penulis asli dengan
yang baru. Tapi Brian Martin menyinggung ke arah berbeda; kalau plagiarisme ini
mengarah pada modus operandi ghost writer
dan speech writer. Sebuah praktik
plagiarisme yang bisa dinisbatkan pada siapapun, pada seorang lurah, camat,
bupati, gubernur, hingga presiden.
Mengapa Plagiat?
Plagiarisme tumbuh pada diri seseorang yang bermental malas,
peragu, dan kemandulan intelektualnya. Penyakit ini akan menjangkiti siapapun,
dimanapun, dan kapanpun. Jiwa plagiarisme itu bisa tumbuh dari hal yang remeh
temeh. Misalkan; pada anak usia sekolah dasar, contek-menyontek di kelas ketika
ulangan dianggap biasa. Maka mental malas belajar/pencuri itu akan dibawa
kemanapun, termasuk ketika masuk ke jenjang lebih tinggi. Dan aplikasi nyata
ketika ada tugas bahkan skripsi ia takkan sungkan untuk menjiplak, copy-paste.
Secara internal, banyak orang plagiat karena berangkat dari
ketidaktahuan, gejala ini tumbuh subur dalam dunia akademik, banyak mahasiswa
dan dosen yang tidak tahu cara mengutip kalimat orang, mengambil refrensi tanpa
izin, tidak tahu cara menuliskan sumber tulisan, dan lainnya. Kedua, tidak
percaya diri, terkadang ada seorang yang minder dengan tulisannya sendiri,
sumringah melihat tulisan orang lain dan masam melihat tulisan sendiri. Dan
yang ketiga, kebanyakan karena situasi terjepit, kadang dikejar deadline yang mau tak mau harus selesai
sekarang, sehingga mereka mencari jalan instan dengan cara copot sana copot
sini sebuah tulisan.
Sedangkan secara eksternal, karena kemudahan dan
ketersediaannya search engine
(seperti; google, yahoo, MSN, Alltheweb, dan Bing) untuk mengakses apapun,
termasuk skripsi orang, novel, puisi, dan artikel, esai, dan lain-lain. Sang
plagiator tinggal duduk manis di depan komputer, memindahkan refrensi yang
dibutuhkan, dan tak lupa mencopot nama penulis asli dengan namanya sendiri.
Biarpun batin sang plagiator “semoga saja tak ada yang
tahu”. Tapi mereka lupa, kalau masih ada publik yang ingin mengkritisi,
membaca, dan menganalisa tulisannya. “sepintar-pintar orang menyimpan bangkai,
pada akhirnya akan tercium”, begitupun dalam kasus plagiarisme.
0 komentar:
Posting Komentar