Dalam historisitas kesusastraan dunia, kritik sastra pertama
kali dilakukan dua orang Yunani, yaitu Xenophanes dan Heraclitus sekitar tahun
500 SM. Xenophanes dan Heraclitus mengecam keras seorang pujangga besar bernama
Homerus yang sering bercerita tentang hal-hal yang tidak senonoh tentang
dewa-dewi. Hal inilah yang mengawali pemikiran Plato tentang “pertentangan
purba antara puisi dan filsafat.” Pada tahun 405 SM Aristoteles secara lebih
terbuka mengkritik Euripides yang begitu menjunjung nilai seni tanpa
memperhatikan nilai sosial”. Aristoteles kemudian menulis buku mengenai nilai
seni sastra yang mulai menemukan bentuk yang berjudul Poetica. Pada masa
itu juga Plato memunculkan tiga poin penting mengenai baiknya suatu karya
sastra, memberikan ajaran moral yang lebih tinggi, memberikan kenikmatan, dan
memberikan ketepatan dalam bentuk pengungkapannya. Maka, Kaspar Shoopp
(1576-1649) menyejutujui tujuan dan keberadaan para kritikus satra untuk
menganalisa kesalahan dan kecacatan karya demi perbaikan naskah-naskah karya
pujangga kuno baik dalam bahasa Yunani maupun latin.
Sedangkan dalam
sejarah kesusastraan Indonesia, kritik sastra hadir sebelum perang hingga tahun
1950-an. Tapi istilah dan pengertian
kritik sastra baru muncul ketika para sastrawan Indonesia mendapat pendidikan
dengan sistem Eropa pada awal abad ke-20. tapi sebelum itu, mereka telah
menilai karya-karya sastra dalam bahasa daerah yang didasarkan pada
kepercayaan, agama, dan mistik. Kapan pertama kali kritik sastra dipergunakan
di Indonesia? Jawabannya tidak dapat diketahui dengan pasti. Namun demikian,
kritik sastra mulai mendapat perhatian di Indonesia setelah terbitnya kumpulan
karangan “Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essay” karya
H.B. Jassin. Jadi, bisa dibayangkan usia kritik sastra dunia dari mulai eranya
Xenophanes sampai kritikus kita H.B. Jassin, A. Teeuw, Sapardi Djoko Damono,
atau sekaliber Goenawan Moehammad.
Kritik sastra dalam pengertian luasnya adalah suatu
tanggapan, pertimbangan, atau suatu penilaian terhadap karya sastra dengan
mempertimbangkan baik buruknya karya sastra dari berbagai aspek kepengarangan,
serta menyadarkan diri pada suatu teori sastra tertentu, secara garis besar
dapat kita katakan bahwa kritik sastra mempunyai fungsi sebagai media penghantar
antara sastrawan (pencipta karya) kepada pembaca (penikmat sastra) untuk
memahami karya sastra itu sendiri, baik buruknya karya sastra akan diketahui
melalui kritik sastra, dimana seorang kritikus bertugas menerangkan teknik dan
arti karya sastra. kritik sastra memang tidak bisa dipisahkan dengan karya
sastra, atau kritikus sastra tidak bisa dipisahkan dengan sastrawan, yang
saling mengisi dan membutuhkan satu sama lain.
Tapi seiring tumbuhnya karya sastra di Indonesia tidak
diimbangi dengan tumbuhnya kritik-kritik sastranya, karya sastra tumbuh sendiri
dan tanpa pantauan siapa pun, sehingga karya sastra itu lahir tanpa panduan
atau tuntunan kritik sastra. Ibarat seorang anak, karya sastra tumbuh hidup
tanpa bimbingan guru, orang tua, atau siapa pun, karya sastra hanya tumbuh
sendiri mengikuti arus waktu. Padahal kritik sastra adalah suatu kontrol
perkembangan hidupnya suatu karya sastra. Bisa dibayangkan di Indonesia karya
sastra yang tumbuh pesat dan berkembang, tidak diimbangi dengan kritik
sastranya. Bukankah sangat memalukan kritikus Belanda A. Teeau sampai pernah
menulis sebuah esai berjudul “Tentang
Paham dan Salah Paham dalam Membaca Puisi” dimana dia melaporkan tentang
rasa herannya atas analisis dua sajak modern Indonesia oleh sekelompok dosen
sastra kita yang tak satupun berhasil memuaskannya.
Prahara ini berlanjut ketika selalu terlintas kabar bahwa
sastra atau sastrawan Indonesia adalah “jalan di tempat”, karena karya mereka
begitu-begitu saja, seragam, terlalu sosiologis dan local tema/topiknya, dan
tidak cerdas pemakaian bahasanya. Ini terang sekali karena tidak ada
keseimbangan pertumbuhan antara karya sastra dengan kritik sastra. Hingga
prahara sakit ini ingin sembuh, sangat dianjurkan untuk berobat ke luar negeri,
kalau tidak ke Amerika Serikat atau Eropa, ya ke Amerika Latin.
“The west is the best”,
mungkin kita harus meng-iyakan apa kata Jim Morrison tersebut yang mengatakan
“barat adalah lebih baik”, barat lebih baik dari Indonesia dari kritik dan
karya sastranya, di barat antara karya sastra dan kritik sastranya balance (seimbang) sehingga lagi-lagi
kita harus mengimpor kelebihan itu untuk yang ke sekian kalinya. Maka
pengalaman Saut Situmorang ketika riset perpustakaan atas Chairil Anwar patut
diapresiasi, banyak justru yang mampu menulis analisis kritis yang serius dan
orisinal dalam bahasa pembahasan yang luwes tidak kaku kebanyakan peneliti
asing, biasanya dalam bahasa Inggris, dan bukan peneliti Indonesia sendiri. Ini
baru tentang satu sastrawan saja. Bagaimana dengan nasib para sastrawan
lainnya?, bisa dibayangkan seandainya Chairil Anwar itu seorang penyair Amerika
Serikat maka sudah puluhan buku tentang berbagai aspek dari puisinya termasuk
biografinya, ditulis orang Amerika Serikat sendiri.
Sebenarnya
kritikus sastra Indonesia bukan tidak ada, tapi karena keterbatasan kuantitas
dan keterbatasan kualitas jadinya kelihatan tidak ada, mereka “hidup segan,
mati pun tak mau”, para kritikus kebanyakan hanya menulis esai-lepas di koran
atau majalah atau hasil penelitian akademis kesarjanaan seperti skripsi,
sehingga isinya tidak memuaskan untuk bisa disebut sebagai kritik sastra.
Jadi kedepannya kita harus lebih peka dengan gejala-gejala
itu, bahkan yang patut disadari dari dulu adalah kita sejatinya adalah kritikus
sastra, redaktur koran/majalah adalah kritikus sastra, penikmat sastra adalah
kritikus sastra, dan semua orang yang pernah membaca karya sastra adalah
kritikus sastra. Karena kita tidak bisa mengindahkannya, ketika kita membaca
karya sastra disaat itu pula kita telah mengkritiknya, entah kita meresa karya
sastra itu buruk atau sebaliknya kita mengatakan baik.
Maka, gerakan “kita adalah kritikus sastra” selebihnya
sebagai pendongkrak kesustraan Indonesia, dan diperuntukkan secara jamak untuk
pengamat satra, sastrawan, penikmat sastra, bahkan masyarakat umum sekali pun
untuk berlomba-lomba mulai mencintai karya sastra dan mengkritiknya.
0 komentar:
Posting Komentar