Rabu, 13 Juli 2016

Kita adalah Kritikus Sastra



Dalam historisitas kesusastraan dunia, kritik sastra pertama kali dilakukan dua orang Yunani, yaitu Xenophanes dan Heraclitus sekitar tahun 500 SM. Xenophanes dan Heraclitus mengecam keras seorang pujangga besar bernama Homerus yang sering bercerita tentang hal-hal yang tidak senonoh tentang dewa-dewi. Hal inilah yang mengawali pemikiran Plato tentang “pertentangan purba antara puisi dan filsafat.” Pada tahun 405 SM Aristoteles secara lebih terbuka mengkritik Euripides yang begitu menjunjung nilai seni tanpa memperhatikan nilai sosial”. Aristoteles kemudian menulis buku mengenai nilai seni sastra yang mulai menemukan bentuk yang berjudul Poetica. Pada masa itu juga Plato memunculkan tiga poin penting mengenai baiknya suatu karya sastra, memberikan ajaran moral yang lebih tinggi, memberikan kenikmatan, dan memberikan ketepatan dalam bentuk pengungkapannya. Maka, Kaspar Shoopp (1576-1649) menyejutujui tujuan dan keberadaan para kritikus satra untuk menganalisa kesalahan dan kecacatan karya demi perbaikan naskah-naskah karya pujangga kuno baik dalam bahasa Yunani maupun latin.


Sedangkan  dalam sejarah kesusastraan Indonesia, kritik sastra hadir sebelum perang hingga tahun 1950-an.  Tapi istilah dan pengertian kritik sastra baru muncul ketika para sastrawan Indonesia mendapat pendidikan dengan sistem Eropa pada awal abad ke-20. tapi sebelum itu, mereka telah menilai karya-karya sastra dalam bahasa daerah yang didasarkan pada kepercayaan, agama, dan mistik. Kapan pertama kali kritik sastra dipergunakan di Indonesia? Jawabannya tidak dapat diketahui dengan pasti. Namun demikian, kritik sastra mulai mendapat perhatian di Indonesia setelah terbitnya kumpulan karangan “Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essay” karya H.B. Jassin. Jadi, bisa dibayangkan usia kritik sastra dunia dari mulai eranya Xenophanes sampai kritikus kita H.B. Jassin, A. Teeuw, Sapardi Djoko Damono, atau sekaliber Goenawan Moehammad.

Kritik sastra dalam pengertian luasnya adalah suatu tanggapan, pertimbangan, atau suatu penilaian terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan baik buruknya karya sastra dari berbagai aspek kepengarangan, serta menyadarkan diri pada suatu teori sastra tertentu, secara garis besar dapat kita katakan bahwa kritik sastra mempunyai fungsi sebagai media penghantar antara sastrawan (pencipta karya) kepada pembaca (penikmat sastra) untuk memahami karya sastra itu sendiri, baik buruknya karya sastra akan diketahui melalui kritik sastra, dimana seorang kritikus bertugas menerangkan teknik dan arti karya sastra. kritik sastra memang tidak bisa dipisahkan dengan karya sastra, atau kritikus sastra tidak bisa dipisahkan dengan sastrawan, yang saling mengisi dan membutuhkan satu sama lain.

Tapi seiring tumbuhnya karya sastra di Indonesia tidak diimbangi dengan tumbuhnya kritik-kritik sastranya, karya sastra tumbuh sendiri dan tanpa pantauan siapa pun, sehingga karya sastra itu lahir tanpa panduan atau tuntunan kritik sastra. Ibarat seorang anak, karya sastra tumbuh hidup tanpa bimbingan guru, orang tua, atau siapa pun, karya sastra hanya tumbuh sendiri mengikuti arus waktu. Padahal kritik sastra adalah suatu kontrol perkembangan hidupnya suatu karya sastra. Bisa dibayangkan di Indonesia karya sastra yang tumbuh pesat dan berkembang, tidak diimbangi dengan kritik sastranya. Bukankah sangat memalukan kritikus Belanda A. Teeau sampai pernah menulis sebuah esai berjudul “Tentang Paham dan Salah Paham dalam Membaca Puisi” dimana dia melaporkan tentang rasa herannya atas analisis dua sajak modern Indonesia oleh sekelompok dosen sastra kita yang tak satupun berhasil memuaskannya.

Prahara ini berlanjut ketika selalu terlintas kabar bahwa sastra atau sastrawan Indonesia adalah “jalan di tempat”, karena karya mereka begitu-begitu saja, seragam, terlalu sosiologis dan local tema/topiknya, dan tidak cerdas pemakaian bahasanya. Ini terang sekali karena tidak ada keseimbangan pertumbuhan antara karya sastra dengan kritik sastra. Hingga prahara sakit ini ingin sembuh, sangat dianjurkan untuk berobat ke luar negeri, kalau tidak ke Amerika Serikat atau Eropa, ya ke Amerika Latin.

“The west is the best”, mungkin kita harus meng-iyakan apa kata Jim Morrison tersebut yang mengatakan “barat adalah lebih baik”, barat lebih baik dari Indonesia dari kritik dan karya sastranya, di barat antara karya sastra dan kritik sastranya balance (seimbang) sehingga lagi-lagi kita harus mengimpor kelebihan itu untuk yang ke sekian kalinya. Maka pengalaman Saut Situmorang ketika riset perpustakaan atas Chairil Anwar patut diapresiasi, banyak justru yang mampu menulis analisis kritis yang serius dan orisinal dalam bahasa pembahasan yang luwes tidak kaku kebanyakan peneliti asing, biasanya dalam bahasa Inggris, dan bukan peneliti Indonesia sendiri. Ini baru tentang satu sastrawan saja. Bagaimana dengan nasib para sastrawan lainnya?, bisa dibayangkan seandainya Chairil Anwar itu seorang penyair Amerika Serikat maka sudah puluhan buku tentang berbagai aspek dari puisinya termasuk biografinya, ditulis orang Amerika Serikat sendiri.

Sebenarnya kritikus sastra Indonesia bukan tidak ada, tapi karena keterbatasan kuantitas dan keterbatasan kualitas jadinya kelihatan tidak ada, mereka “hidup segan, mati pun tak mau”, para kritikus kebanyakan hanya menulis esai-lepas di koran atau majalah atau hasil penelitian akademis kesarjanaan seperti skripsi, sehingga isinya tidak memuaskan untuk bisa disebut sebagai kritik sastra.

Jadi kedepannya kita harus lebih peka dengan gejala-gejala itu, bahkan yang patut disadari dari dulu adalah kita sejatinya adalah kritikus sastra, redaktur koran/majalah adalah kritikus sastra, penikmat sastra adalah kritikus sastra, dan semua orang yang pernah membaca karya sastra adalah kritikus sastra. Karena kita tidak bisa mengindahkannya, ketika kita membaca karya sastra disaat itu pula kita telah mengkritiknya, entah kita meresa karya sastra itu buruk atau sebaliknya kita mengatakan baik.

Maka, gerakan “kita adalah kritikus sastra” selebihnya sebagai pendongkrak kesustraan Indonesia, dan diperuntukkan secara jamak untuk pengamat satra, sastrawan, penikmat sastra, bahkan masyarakat umum sekali pun untuk berlomba-lomba mulai mencintai karya sastra dan mengkritiknya.








Share:

0 komentar:

Copyright © LAJANG KEMBARA | Powered by Blogger
Design by SimpleWpThemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com